Ramadhan Gak Cuma Puasa: Cara Seru Menghidupkan Nilai-Nilai Kebaikan

Ramadhan itu jauh lebih dari sekadar festival jajanan tahunan yang bikin kita sibuk ‘war takjil’, atau ajang adu petasan yang ujung-ujungnya bisa jadi tawuran. Sejatinya, Ramadhan adalah madrasah (sekolah) spiritual buat kita semua, tempatnya para muttaqin (orang bertakwa) dan sholihin (orang saleh) dibentuk. Nah, gimana caranya biar semangat Ramadhan itu nggak cuma bertahan sebulan, tapi jadi gaya hidup kita? Yuk, kita bedah bareng-bareng!

“JIKA engkau memandang bulan Ramadan sebatas salah satu dari dua belas bulan, maka nanti malam kau akan mengucapkan selamat tinggal. Namun jika engkau menganggapnya sebagai gaya hidup, maka engkau tidak akan pernah meninggalkannya. Jika ibadah puasa, membaca Al-Qur’an, bersedekah, shalat malam dan ibadah lainnya terus kita lakukan berkesinambungan, niscaya Ramadhan akan tetap bersemayam dalam hati selamanya,”

Catatan singkat ini ngena banget. Lebaran memang udah berlalu, tapi hidup kan terus berjalan. Dan selama kita masih bernapas, perjuangan buat mempertahankan keimanan dan ketakwaan itu nggak boleh berhenti.

Ramadhan Gak Cuma Puasa

Menghadapi Musuh Abadi: Hawa Nafsu dan Setan

Caranya gimana? Ya, dengan melawan musuh-musuh yang selalu coba ngehalangin jalan kita menuju Allah. Musuh paling besar? Hawa nafsu kita sendiri! Habib Abdullah Al Haddad malah bilang, hawa nafsu manusia itu bisa lebih berbahaya daripada tujuh puluh Setan lho dalam kitabnya. Kebayang kan seberapa kuat godaannya?

Selama Ramadhan, hawa nafsu kita ‘dipaksa’ jadi jinak. Kenapa? Karena ada instrumen pengekangnya: ibadah puasa. Kita dilatih nahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa dari Fajar Shodiq sampai Maghrib. Ini adalah tingkatan puasa paling dasar, tapi dampaknya luar biasa.

Tapi masalahnya, setelah Ramadhan selesai, instrumen pengekang itu banyak yang dilepas. Hawa nafsu yang tadinya anteng, sekarang berpotensi jadi buas lagi. Nah, nggak cuma hawa nafsu, Setan yang katanya dibelenggu selama Ramadhan itu juga ‘bebas tugas’ lagi. Mereka ini tandem abadi, siap berkolaborasi lagi buat bikin kita tergelincir dari jalan taqwa. Serem kan?

Puasa: Senjata Rahasia Melawan Godaan

Untungnya, kita punya bekal dari ‘madrasah’ Ramadhan kemarin. Hasil didikan sebulan penuh itu bisa jadi benteng pertahanan sekaligus senjata ampuh kita. Salah satunya, ya, ibadah puasa itu sendiri.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
“Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah anak Adam, maka persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa).”

Hadis ini jelas banget ngasih tahu kita kalau puasa itu efektif banget buat ngalahin Setan. Dengan menahan lapar, kita mempersempit celah buat godaan masuk ke diri kita. Makanya, bukan cuma di Ramadhan, puasa sunnah kayak Senin-Kamis atau puasa Daud itu dianjurkan banget.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ngasih wasiat ke Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha, seperti dikutip Imam Al Ghazali dalam kitabnya:
“Wahai Aisyah teruslah mengetuk pintu surga.” Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha bertanya, “Dengan apa Ya Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dengan (ber)puasa.”

Puasa itu bukan cuma nahan lapar dan haus, tapi juga menahan diri dari perbuatan dosa. Jadi, kalau kita terbiasa menahan diri di bulan Ramadhan, kebiasaan baik itu harusnya bisa kita bawa terus setelah Ramadhan. Ini yang dimaksud dengan menjadikan puasa sebagai ‘ketukan pintu surga’.

Pentingnya Menahan Diri dari Nafsu Perut

Lapar atau menahan diri dari makan berlebihan itu emang laku spiritual yang ampuh banget. Ini jalannya para Nabi dan orang-orang saleh sepanjang zaman. Yahya bin Mu’adz Rahimahullah sampai bilang begini:

“Mazhab (jalan) semua orang-orang Soleh adalah (jalan) lapar. Maka barangsiapa berlari (keluar) dari jalan ini maka dia adalah termasuk orang-orang yang fasik.”

Statement ini keras ya, tapi maksudnya adalah pentingnya mengendalikan nafsu makan. Kalau kita nggak bisa ngendalikan nafsu perut, itu bisa berdampak ke banyak hal negatif lainnya. Yahya bin Mu’adz Rahimahullah juga ngasih penjelasan lanjutannya:

“Ketahuilah sesungguhnya barangsiapa yang banyak makannya, maka banyak daging perutnya (gendut), barangsiapa yang banyak daging perutnya maka banyak syahwatnya, barangsiapa yang banyak syahwatnya maka banyak dosanya, barangsiapa yang banyak dosanya maka keras hatinya, barangsiapa yang keras hatinya maka akan tenggelam dalam dosa dan kesalahan, dan barangsiapa yang tenggelam dalam dosa dan kesalahan maka (kelak) masuk ke dalam neraka.”

Rantai sebab-akibatnya serem banget kan? Dari banyak makan, bisa berujung ke neraka. Ini nunjukkin betapa krusialnya ngendaliin nafsu perut, yang jadi pintu gerbang nafsu-nafsu lainnya.

Sayangnya, jalan mulia berupa menahan diri (puasa atau nggak berlebihan dalam makan) ini makin banyak ditinggalkan umat Islam. Bahkan di bulan Ramadhan aja, banyak yang nggak puasa tanpa alasan syar’i dan makin berani terang-terangan. Ini miris banget, nunjukkin kemunafikan dan kefasikan. Islam kayak cuma formalitas di KTP aja.

Makanya, pas Allah nyuruh puasa di Al-Baqarah ayat 183, sapaannya itu “Wahai orang-orang yang beriman”. Kenapa? Karena cuma orang beriman yang beneran sanggup nyambut seruan itu. Orang yang imannya lemah atau cuma mengaku beriman doang, ya, berat pastinya.

Tujuan Utama Puasa: Meraih Taqwa dan Implementasinya

Tujuan utama puasa itu apa sih? Jelas banget: biar kita jadi hamba yang bertaqwa. Nah, taqwa ini nggak cuma soal ibadah ritual aja, tapi implementasinya luas banget di segala lini kehidupan. Makanya, para sholihin kalau nasihatin apa pun, pasti diawali dengan nasihat taqwa: “Bertakwalah di manapun kalian berada.”

Orang yang udah nyerep nilai filosofis puasa, hatinya bakal lebih lembut, lebih sensitif sama keadaan saudara-saudara di sekitarnya. Puasa itu kan intinya Imsak an as Syai’ alias menahan diri dari sesuatu. Konsep menahan diri ini relevan banget buat dijadiin gaya hidup.

Ambil contoh kasus yang lagi ramai: produk-produk yang terafiliasi sama Zionis yang secara terang-terangan bantu mendanai pembantaian di Palestina. Orang yang udah nyerep nilai filosofis puasa, yang hatinya sensitif karena taqwa, otomatis bakal ngerasa terpanggil buat ngeboikot produk-produk itu. Dia bakal milih produk alternatif yang nggak ada kaitannya sama Zionis.

Ini bukan cuma soal nggak makan atau nggak minum produk itu, tapi ini soal menahan diri dari keinginan memakai atau mengonsumsi produk yang hasil keuntungannya dipakai buat menyakiti sesama Muslim. Meskipun kadang secara manusiawi ada rasa pengen atau udah terbiasa pakai produk itu, nilai filosofis puasa (Imsak an as Syai’) yang udah nancap di hati bakal kuat nahan keinginan itu.

Coba bandingin sama kaum munafikin. Mereka ini ‘produk gagal’ Ramadhan. Jangankan nilai filosofis, puasa ritualnya aja mungkin nggak bener-bener dijalanin. Syahwat perut dan syahwat lainnya yang nggak terdidik selama Ramadhan bakal makin liar setelah Ramadhan. Nggak heran kalau kita masih nemuin orang yang secara penampilan Islami (pakai hijab, peci, jenggot) tapi santai aja makan di restoran atau pakai produk brand yang jelas-jelas pro-Zionis.

Baca Juga: loading

Rasa empati dan simpati mereka seolah hilang sama penderitaan rakyat Palestina. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ngancam, siapa pun yang nggak peduli sama urusan kaum Muslimin, dia bukan termasuk golongan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perilaku kayak gini nunjukkin bahwa Ramadhan buat mereka cuma lewat begitu aja, nggak ada bekasnya di hati dan perbuatan.

Ramadhan: Madrasah atau Sekadar Festival?

Orang-orang yang ‘produk gagal’ Ramadhan ini mandang bulan suci itu nggak lebih dari sekadar festival tahunan. Sibuknya cuma ‘takjil war’, sibuk adu petasan sampai tawuran, atau asik bangunin sahur tapi paginya nggak puasa. Ramadhan buat mereka cuma ajang hura-hura sesaat.

Dari dua cara pandang (worldview) yang beda ini, muncullah dua golongan yang beda juga sikapnya pas Ramadhan usai. Golongan pertama, kaum Sholihin, justru nangis pas Ramadhan pergi. Kenapa? Karena mereka ngerasa kehilangan momen istimewa buat panen pahala dan mendekatkan diri sama Allah. Mereka sedih karena nggak tahu apakah masih bisa ketemu Ramadhan lagi tahun depan atau nggak.

Golongan kedua, justru seneng banget pas Ramadhan kelar. Mereka ngerasa kayak baru bebas dari penjara! Ramadhan dianggap udah ngekang dan ngebatasin ‘kemerdekaan’ syahwat mereka. Sekarang mereka bisa bebas lagi ngelakuin apa aja yang dulunya ditahan-tahan selama puasa. Ini ciri-ciri orang munafik.

Hatim Al A’shom Rahimahullah pernah ngasih tahu tanda-tanda dua golongan ini:
“Termasuk tanda-tanda orang beriman adalah (mereka) melakukan ketaatan sembari di saat yang sama mereka menangis. Dan termasuk daripada tanda orang munafik adalah (mereka) lupa (dilupakan) terhadap amal (sholeh) alias tidak mengerjakannya kemudian (mirisnya) mereka malah tertawa.”

Orang beriman itu ngerjain ibadah dengan sungguh-sungguh, tapi tetap khawatir apakah amalnya diterima atau nggak, makanya bisa sampai nangis. Sementara orang munafik, nggak ngerjain amal saleh (atau ngerjain tapi nggak ikhlas/sembarangan), eh malah ketawa-ketawa, ngerasa aman-aman aja.

Jadi Hamba Rabbani, Bukan Hamba Ramadhan

Intinya, Ramadhan itu madrasah tahunan buat ngedidik orang beriman biar jadi bertaqwa. Golongan muttaqin ini yang kata Allah adalah sebaik-baik golongan di sisi-Nya. Nah, nilai-nilai ibadah yang kita dapetin selama Ramadhan itu panggung pembuktiannya adalah di luar Ramadhan. Di sinilah kelihatan, pantes nggak sih kita nyandang gelar ‘bertaqwa’ itu?

Puasa udah ngajarin kita buat ngendaliin syahwat perut, kemaluan, anggota badan lahiriah, dan yang paling penting, syahwat batiniah (hati). Padahal, banyak kerusakan di masyarakat bahkan negara (kayak korupsi misalnya) itu sumbernya dari syahwat-syahwat ini. Kemampuan ngendaliin syahwat lahir dan batin inilah yang ngebedain orang beriman sama orang munafik.

Imam Abdul Wahab as Sya’roni ngutip hadis Nabi di kitabnya Tanbihul Mughtarin yang bilang:
“Semangat (passion) orang-orang munafik adalah pada perihal makanan dan minuman, sedangkan semangat (passion) orang-orang beriman adalah pada (ibadah) puasa dan sholat.”

Ini gambaran singkat tapi ngena banget. Fokus hidup orang munafik itu cuma soal urusan perut dan kesenangan duniawi. Sementara orang beriman, fokus utamanya adalah ibadah dan mendekatkan diri sama Allah.

Kalau kita beneran ngaku sebagai Hamba Rabbani (hamba Allah), bukan cuma Hamba Ramadhan, maka konsistensi dalam meniti jalan taqwa itu wajib dijalanin terus, nggak peduli lagi Ramadhan atau udah lewat. Kegiatan khas Ramadhan kayak puasa sunnah, ngaji Al-Qur’an rutin, sholat berjamaah, sedekah, peduli sesama (dan nggak korupsi!), harusnya gampang aja kita lanjutin di luar Ramadhan.

Ingat kutipan di awal tadi: kalau cuma dipandang sebagai salah satu bulan biasa, ya Ramadhan bakal datang dan pergi. Tapi kalau nilai-nilainya kita jadiin gaya hidup, maka kebaikan Ramadhan bakal selamanya menghiasi hidup kita. Mari kita berusaha jadi Hamba Rabbani, bukan cuma Hamba Ramadhan. Wallahu A’lam Bis Showab.

Gimana nih menurut kalian? Share pendapat kalian di kolom komentar ya!

Posting Komentar