Ayam Goreng Widuran Viral: Nonhalal? Ini Cara Dapetin Sertifikasi Halal!
Wow, ada kabar bikin heboh dari Kota Solo nih! Sebuah warung makan yang udah kondang, Ayam Goreng Widuran, mendadak jadi perbincangan hangat di media sosial. Gimana nggak, warung yang terkenal dengan menu ayam goreng kampung plus kremesnya ini tiba-tiba mengumumkan kalau hidangan mereka masuk kategori non-halal. Pengumuman yang jujur tapi mengejutkan ini mereka sampaikan lewat akun Instagram resmi @ayamgorengwiduransolo pada hari Jumat, 23 Mei 2025 lalu.
Lokasi warung Ayam Goreng Widuran yang jadi sorotan ini ada di Jalan Sutan Sjahrir Nomor 71, Kepatihan Kulon, Kecamatan Jebres, Solo. Mereka memang udah punya nama di kalangan penggemar kuliner ayam goreng. Makanya, pas pengumuman itu keluar, banyak banget warganet yang kaget dan bertanya-tanya. Kok bisa ya, warung ayam goreng yang kelihatannya biasa aja malah menyatakan diri non-halal?
Pihak pengelola Ayam Goreng Widuran langsung menyampaikan permohonan maaf atas situasi ini. Dalam unggahan yang viral itu, mereka juga menegaskan kalau label non-halal udah dipasang di semua cabang mereka. Ini langkah penting buat transparansi ke konsumen. Mereka juga berharap masyarakat bisa kasih waktu dan kesempatan buat mereka buat memperbaiki dan membenahi semuanya dengan niat baik. Keterbukaan seperti ini patut diapresiasi, meskipun mungkin ada dampak ke bisnis mereka.
Kenapa Halal Penting di Indonesia?
Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, isu halal ini memang sensitif dan super penting. Buat umat Muslim, mengonsumsi makanan atau menggunakan produk yang terjamin kehalalannya itu adalah bagian dari menjalankan ajaran agama. Makanya, pemerintah kita mengatur soal ini dengan serius. Ada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Undang-undang ini mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia untuk bersertifikat halal.
Produk apa aja sih yang kena wajib sertifikasi ini? Wah, banyak banget cakupannya! Mulai dari makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari, obat-obatan, kosmetik yang kita pakai, bahan kimia, produk biologi, hasil rekayasa genetik, sampai barang-barang lain yang digunakan masyarakat. Nggak cuma produk fisiknya aja lho, layanan yang berkaitan sama proses produksi, penyimpanan, sama penyajian juga termasuk dalam kategori yang wajib punya sertifikat halal. Jadi, warung makan kayak Ayam Goreng Widuran ini memang seharusnya punya sertifikat halal kalau memang target pasarnya adalah konsumen umum di Indonesia.
Produk Non-Halal: Boleh Beredar Tapi…
Tapi ada pengecualian nih. Menurut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), produk yang emang udah jelas-jelas mengandung bahan non-halal itu nggak diwajibkan buat ngajuin sertifikasi halal. Ini logis banget sih. Gimana mau disertifikasi halal kalau bahannya aja udah pasti haram? Misalnya nih, minuman keras atau makanan yang bahan utamanya daging babi.
Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, pernah bilang gini, “Produk non-halal memang dikecualikan. Tidak mungkin minuman keras atau makanan berbahan babi mengajukan sertifikat halal.” Jadi, buat Ayam Goreng Widuran, kalau memang ada unsur non-halal di dalamnya (entah itu bumbu, proses masaknya, atau bahan lainnya yang nggak disangka), mereka memang nggak bisa dan nggak perlu ngajuin sertifikat halal. Mengumumkan status non-halal itu justru langkah yang bener secara hukum dan etika bisnis.
Meskipun nggak diwajibkan sertifikasi halal, produk non-halal ini tetep boleh kok beredar di pasaran Indonesia. Tapi ada syarat mutlaknya: harus ada keterangan yang super jelas bahwa produk itu mengandung unsur non-halal. Keterangan ini nggak boleh samar-samar atau kecil. Harus mencolok dan gampang diliat konsumen. Contoh paling umum adalah makanan berbahan daging babi. Itu wajib banget mencantumkan tulisan atau gambar babi di kemasannya biar konsumen nggak salah beli. Ini demi melindungi konsumen Muslim supaya nggak terpaksa mengonsumsi sesuatu yang haram.
Kasus Ayam Goreng Widuran ini jadi pengingat penting buat semua pelaku usaha, terutama di bidang kuliner. Kejujuran soal status halal produk itu krussial. Kalaupun ternyata produknya nggak bisa disertifikasi halal, yang terpenting adalah transparan ke konsumen. Jangan sampai ada kesalahpahaman yang bisa merugikan konsumen dan bikin repot di kemudian hari.
Gimana Sih Cara Dapetin Sertifikat Halal?
Nah, buat pelaku usaha yang produknya bisa dan mau disertifikasi halal, prosesnya udah diatur dengan jelas sama BPJPH. Mengurus sertifikat halal sekarang udah makin dimudahkan dengan sistem online. Tapi, emang ada beberapa tahapan dan dokumen yang harus disiapin. Penting buat dicatat, proses ini melibatkan beberapa pihak: BPJPH (sebagai regulator dan penerbit sertifikat), LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) yang bertugas mengaudit, dan Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mengeluarkan fatwa kehalalan secara syariat.
Secara umum, ada dua skema utama untuk mendapatkan sertifikat halal di Indonesia: skema reguler dan skema self-declare. Skema reguler ini berlaku buat sebagian besar jenis usaha dan produk, sementara skema self-declare atau pernyataan pelaku usaha ini khusus buat Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan kriteria tertentu yang lebih sederhana.
Jalur Reguler: Langkah Demi Langkah
Dilansir dari laman resmi BPJPH, ini nih dokumen syarat yang harus disiapin buat daftar sertifikasi halal jalur reguler:
- Surat permohonan: Biasanya diisi via sistem online.
- NIB (Nomor Induk Berusaha): Ini penting banget sebagai legalitas usaha.
- Dokumen penyelia halal: Ini orang yang ditunjuk perusahaan buat ngurusin sistem jaminan halal. Dokumennya meliputi SK Penetapan dari perusahaan, fotokopi KTP, dan daftar riwayat hidup. Penyelia halal ini harus punya pengetahuan tentang kehalalan dan sistem jaminan produk halal.
- Daftar nama produk di SIHALAL: Semua produk yang mau disertifikasi harus didaftarin.
- Daftar produk dan bahan yang digunakan: Ini detail banget, harus nyebutin semua bahan, termasuk bahan tambahan, bahan penolong, dan asal-usulnya.
- Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH): Ini semacam panduan internal perusahaan tentang gimana mereka memastikan kehalalan produk dari hulu ke hilir. Mulai dari pengadaan bahan, proses produksi, penyimpanan, sampai distribusi. SJPH ini kunci buat menjaga kehalalan produk secara berkelanjutan.
- Izin edar atau Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS): Kalau udah punya, dilampirkan. Ini menunjukkan bahwa produk dan fasilitas udah memenuhi standar keamanan dan kebersihan.
Setelah dokumen siap, ini dia tahapan mendaftar atau mendapatkan sertifikat halal jalur reguler via SIHALAL (Sistem Informasi Halal):
- Buat Akun dan Ajukan Permohonan di SIHALAL: Pelaku usaha harus punya email aktif dan NIB (Nomor Induk Berusaha) Berbasis Risiko yang bisa didapetin via https://oss.go.id. Setelah itu, bikin akun dan login di portal SIHALAL BPJPH: https://ptsp.halal.go.id/. Di sini, pelaku usaha ngisi data perusahaan dan ngajuin permohonan sertifikat halal, sekalian ngunggah dokumen-dokumen persyaratan tadi.
- Verifikasi Dokumen oleh BPJPH: BPJPH akan memeriksa kelengkapan dan kesesuaian data serta dokumen yang diunggah. Kalau ada yang kurang atau nggak sesuai, nanti dikasih tahu buat diperbaiki.
- Penetapan Biaya Pemeriksaan oleh LPH: Setelah dokumen lengkap dan diverifikasi BPJPH, permohonan dilanjutkan ke LPH. LPH yang dipilih (atau ditunjuk) akan menghitung biaya pemeriksaan atau audit halal. Biaya ini tergantung ruang lingkup dan kompleksitas usaha/produk. LPH akan mengisikan biaya ini di sistem SIHALAL.
- Pembayaran dan Verifikasi Pembayaran: Pelaku usaha melakukan pembayaran sesuai tagihan dari LPH dan mengunggah bukti bayarnya di SIHALAL. BPJPH kemudian memverifikasi pembayaran ini. Kalau pembayaran udah beres, BPJPH menerbitkan Surat Tanda Terima Dokumen (STD) di SIHALAL. STD ini ibarat lampu hijau buat LPH untuk mulai proses pemeriksaan.
- Pemeriksaan/Audit oleh LPH: Ini tahap paling penting di sisi teknis. Auditor LPH akan melakukan pemeriksaan ke lokasi usaha pelaku usaha. Mereka bakal ngecek langsung mulai dari bahan baku yang dipakai, proses produksinya, fasilitas yang ada (dapur, gudang, alat masak), sampe penerapan SJPH di lapangan. Auditor akan memastikan nggak ada kontaminasi silang dengan bahan non-halal dan semua proses sesuai standar halal. Hasil pemeriksaan ini dituangkan dalam laporan pemeriksaan yang kemudian diunggah di SIHALAL.
- Sidang Fatwa oleh Komisi Fatwa MUI: Laporan hasil pemeriksaan dari LPH tadi kemudian dibawa ke Komisi Fatwa MUI. Tugas MUI adalah melakukan Sidang Fatwa untuk menilai apakah produk dan proses yang dilaporkan LPH itu udah memenuhi kaidah syariat Islam tentang kehalalan. MUI nggak turun ke lapangan audit, tapi mereka meninjau laporan LPH dan dokumen pendukung lainnya. Jika memenuhi syarat syariat, MUI akan menerbitkan Ketetapan Halal.
- Penerbitan Sertifikat Halal oleh BPJPH: Setelah MUI menerbitkan Ketetapan Halal, BPJPH sebagai otoritas pemerintah yang berwenang akan menerbitkan Sertifikat Halal secara resmi berdasarkan fatwa MUI tersebut. Sertifikat ini diterbitkan secara elektronik melalui SIHALAL.
- Mengunduh Sertifikat: Pelaku usaha bisa langsung mengunduh Sertifikat Halal mereka dari sistem SIHALAL begitu statusnya berubah menjadi “Terbit SH”. Sertifikat ini biasanya berlaku selama 4 tahun.
Ribet ya? Memang butuh komitmen dan ketelitian. Tapi demi jaminan kehalalan produk buat konsumen, proses ini penting banget.
Berikut gambaran proses sertifikasi halal jalur reguler dalam bentuk diagram sederhana:
mermaid
graph TD
A[Pelaku Usaha Ajukan Permohonan via SIHALAL] --> B[Unggah Dokumen Persyaratan];
B --> C{Verifikasi Dokumen oleh BPJPH};
C -- Lengkap & Sesuai --> D[Penetapan Biaya Pemeriksaan oleh LPH];
D --> E[Pembayaran Biaya];
E --> F{Verifikasi Pembayaran oleh BPJPH};
F -- Ok --> G[Terbit STD];
G --> H[Pemeriksaan/Audit Lapangan oleh LPH];
H --> I[Laporan Audit LPH];
I --> J[Sidang Fatwa Komisi Fatwa MUI];
J --> K[Ketetapan Halal MUI];
K --> L[Penerbitan Sertifikat Halal oleh BPJPH via SIHALAL];
L --> M[Pelaku Usaha Unduh Sertifikat];
C -- Tidak Lengkap/Sesuai --> A;
F -- Gagal --> E;
Jalur Self-Declare: Khusus Buat Siapa?
Nah, buat Usaha Mikro dan Kecil (UMK), ada jalur yang sedikit lebih sederhana, yaitu skema self-declare. Skema ini memungkinkan pelaku usaha menyatakan sendiri kehalalan produknya dengan pendampingan. Tapi, nggak semua UMK bisa pakai jalur ini ya. Ada kriterianya, salah satunya adalah produknya nggak mengandung bahan yang diragukan kehalalannya (bahan-bahan kritis) atau proses produksinya relatif sederhana.
Langkah-langkah sertifikasi halal skema self-declare ini:
- Buat Akun SIHALAL: Sama kayak jalur reguler, pelaku usaha UMK yang udah punya NIB harus mengakses laman ptsp.halal.go.id dan membuat akun SIHALAL.
- Lengkapi Data Permohonan: Isi data permohonan sertifikat halal di SIHALAL. Di sini, pelaku usaha juga harus memilih Pendamping Proses Produk Halal (P3H) yang tersedia sesuai lokasi usaha mereka. P3H ini biasanya adalah orang-orang yang udah dilatih BPJPH buat mendampingi UMK.
- Pendampingan Lapangan oleh P3H: P3H yang dipilih akan melakukan kunjungan lapangan ke lokasi usaha UMK. Tugas P3H adalah mendampingi, memverifikasi, dan memvalidasi kehalalan produk UMK tersebut. Mereka akan memastikan bahan-bahan yang dipakai sesuai daftar bahan non-kritis yang diizinkan untuk skema self-declare dan proses produksinya memenuhi syarat.
- Verifikasi BPJPH dan STTD: Hasil pendampingan dari P3H kemudian diverifikasi dan divalidasi lagi oleh BPJPH. Jika hasil pendampingan dianggap cukup, BPJPH akan menerbitkan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD).
- Sidang Fatwa Komite Fatwa Produk Halal: Hasil pendampingan yang sudah diverifikasi BPJPH ini kemudian dibawa ke Komite Fatwa Produk Halal (ini adalah forum fatwa khusus untuk skema self-declare, mirip Komisi Fatwa MUI tapi mungkin prosesnya lebih disesuaikan). Komite ini akan menetapkan kehalalan produk berdasarkan laporan pendampingan P3H.
- Penerbitan Sertifikat Halal: Setelah Komite Fatwa Produk Halal menerbitkan ketetapan halal, BPJPH secara otomatis akan menerbitkan sertifikat halal secara elektronik melalui SIHALAL. Pelaku usaha UMK tinggal mengunduh sertifikatnya.
Skema self-declare ini tujuannya emang buat mempercepat dan mempermudah UMK dalam mendapatkan sertifikat halal, mengingat keterbatasan sumber daya yang mungkin mereka punya dibandingkan usaha besar.
Pentingnya Keterbukaan Informasi
Balik lagi ke kasus Ayam Goreng Widuran. Kejujuran mereka dalam mengumumkan status non-halal produknya itu langkah yang sangat penting. Meskipun mungkin akan ada dampak negatif terhadap jumlah pelanggan, terutama yang Muslim, tapi ini adalah wujud tanggung jawab dan transparansi ke konsumen. Di era digital ini, informasi itu cepat banget menyebar. Menutup-nutupi status kehalalan produk itu bisa jadi bumerang yang dampaknya jauh lebih buruk kalau sampai ketahuan belakangan.
Konsumen di Indonesia juga makin pintar dan kritis lho. Mereka makin peduli sama apa yang mereka konsumsi. Adanya sertifikat halal dari lembaga yang kredibel itu jadi jaminan dan bikin konsumen tenang. Buat pelaku usaha, punya sertifikat halal itu bukan cuma soal kewajiban hukum, tapi juga bisa jadi nilai tambah, meningkatkan kepercayaan konsumen, dan memperluas pasar.
Kasus Ayam Goreng Widuran ini mengajarkan kita semua, baik pelaku usaha maupun konsumen, tentang pentingnya kejelasan informasi produk. Buat pelaku usaha, pahami betul bahan baku dan proses produksi, dan kalau memang bisa, segera urus sertifikat halal sesuai prosedur. Kalaupun nggak bisa, transparanlah dengan jelas memberi tahu konsumen kalau produknya non-halal. Buat konsumen, jadi lebih teliti dalam memilih produk, cari tahu informasinya, dan pastikan ada label halal atau keterangan non-halal yang jelas.
Semoga kasus ini jadi pembelajaran berharga dan mendorong lebih banyak pelaku usaha untuk mematuhi aturan jaminan produk halal demi kebaikan bersama.
Ada yang pernah ngalamin kejadian serupa atau punya pengalaman ngurus sertifikat halal? Yuk, ceritain di kolom komentar!
Posting Komentar