Grup WA Alumni Jadi Toxic? Curhatan Lulusan Soal Info Loker Abal & Pamer
Kelulusan kuliah seharusnya jadi momen membahagiakan, awal petualangan baru di dunia kerja atau melanjutkan studi. Salah satu hal yang biasanya terbentuk setelah wisuda adalah grup WhatsApp alumni angkatan. Awalnya, grup ini dibuat dengan niat mulia. Tujuannya apalagi kalau bukan buat tetap menjalin silaturahmi, berbagi kabar, dan mungkin saling bantu urusan karier.
Ekspektasinya sih, grup WA alumni bakal jadi wadah yang suportif. Tempat kita bisa tanya-tanya soal pengalaman kerja, rekomendasi lowongan, atau sekadar nostalgia masa-masa kuliah yang penuh cerita. Bayangannya, semua orang saling dukung di fase transisi pasca-kampus yang kadang penuh ketidakpastian ini. Pokoknya, solid sampai tua nanti.
Ekspektasi vs. Realita Grup WA Alumni¶
Tapi, seringkali realitanya nggak seindah ekspektasi. Grup yang tadinya diniatkan buat kebaikan bersama, pelan-pelan bisa berubah jadi ladang toxic yang bikin malas buka HP. Suasana hangat kekeluargaan perlahan terganti sama hal-hal yang bikin eneg, mulai dari drama nggak penting sampai tekanan sosial yang implisit.
Ekspektasi | Realita |
---|---|
Berbagi info lowongan kerja valid | Spam info loker abal-abal atau penipuan |
Saling support di fase awal karier | Saling pamer kesuksesan & pencapaian instan |
Diskusi atau nostalgia seru | Debat kusir nggak penting & provokatif |
Menjaga silaturahmi | Hanya jadi ajang numpang lewat/promosi pribadi |
Wadah bertanya & berbagi ilmu | Jarang ada interaksi bermutu, kebanyakan pasif |
Salah satu keluhan paling umum dari teman-teman lulusan baru adalah banjirnya info loker abal-abal. Tiap hari ada aja yang forward lowongan kerja yang kelihatannya too good to be true. Gaji fantastis, posisi mentereng, tapi pas diklik tautannya, eh, isinya malah cuma formulir data diri yang mencurigakan, atau bahkan diminta bayar biaya administrasi di awal.
Ada juga yang lowongannya valid sih, tapi ternyata perusahaan MLM (Multi-Level Marketing) yang butuh “member” baru. Atau lowongan kerja freelance tapi ujung-ujungnya disuruh rekrut orang lain lagi buat dapat komisi. Ini bikin pride nyari kerja kita sebagai lulusan baru berasa diinjak-injak. Udah susah-susah apply, eh, ternyata cuma hoax atau modus doang.
Rasa seneng sesaat pas lihat notifikasi “ada info loker nih!” langsung pupus begitu tahu isinya penipuan atau penawaran nggak jelas. Ini bukan cuma bikin buang waktu, tapi juga bikin ilfeel sama orang yang share info tersebut. Niatnya mungkin baik, tapi kalau nggak disaring dulu kevalidannya, malah bikin resah anggota grup lainnya. Belum lagi kalau ada yang ngeyel pas dibilang itu loker abal-abal.
Ajang Pamer dan Komparasi Sosial¶
Selain loker abal-abal, fenomena pamer kehidupan atau pekerjaan juga jadi racun di grup WA alumni. Baru beberapa bulan lulus, udah ada aja yang pamer gaji pertama, posisi baru, mobil baru, atau lagi liburan ke luar negeri. Postingannya sih dibungkus rapi pakai caption motivasi ala-ala, “Alhamdulillah, berkat kerja keras…”, “Syukuri proses…”, padahal intinya ya cuma mau bilang, “Nih, gue udah sukses lho!”.
Buat yang kebetulan jalannya lagi mulus, mungkin postingan kayak gini nggak terlalu masalah. Tapi buat teman-teman yang masih struggling nyari kerja, lagi di fase quarter life crisis, atau kerjanya belum sesuai ekspektasi, postingan pamer gini bisa bikin hati ciut. Rasanya kok hidup orang lain gampang banget ya, sementara kita masih gini-gini aja. Akhirnya jadi insecure, membanding-bandingkan diri sama teman sendiri, dan overthinking.
Parahnya lagi, kadang pamernya itu nggak langsung, tapi pakai cara-cara pasif-agresif. Misalnya, nanya “Eh, ada yang tahu nggak cara lapor pajak buat penghasilan >XXX juta per bulan?” atau “Grup ini udah pada nggak aktif ya? Kayaknya udah pada sibuk ngurusin aset dan investasi masing-masing…”. Kalimat-kalimat kayak gini tuh ngena banget dan bikin yang bacanya ngerasa tertinggal jauh.
Racun-Racun Lain yang Bikin Grup WA Alumni Meresahkan¶
Nggak cuma soal loker abal dan pamer, grup WA alumni juga seringkali dirusak oleh racun-racun lain. Misalnya, debat politik atau isu sensitif yang nggak ada habisnya. Beda pilihan capres, beda pandangan soal agama atau sosial, bisa jadi pemicu keributan yang bikin suasana grup nggak nyaman. Tiap buka HP, isinya cuma notifikasi “X membalas Y” dengan nada emosi tinggi.
Ada juga fenomena spamming. Entah itu broadcast jualan, forward pesan berantai nggak jelas, meme yang udah basi, atau postingan-postingan nggak relevan lainnya. Awalnya mungkin cuma satu dua orang, tapi kalau nggak ada yang menegur atau adminnya pasif, lama-lama grup jadi tong sampah digital yang isinya cuma iklan dan sampah informasi. Notifikasi nyala terus, tapi isinya nggak ada yang penting.
Lalu, ada juga tipe anggota yang muncul cuma kalau ada maunya. Minta bantuan ini itu, promosi acara pribadi, nyari kenalan buat kepentingan sendiri, atau bahkan minta pinjaman uang. Begitu kepentingannya selesai, hilang lagi ditelan bumi. Nanti muncul lagi pas ada request baru. Anggota kayak gini bikin grup terasa transaksional, bukan lagi tempat silaturahmi tulus.
Kenapa Ini Terjadi? Dinamika Pasca-Kampus¶
Kenapa sih grup WA alumni angkatan yang tadinya adem ayem bisa berubah jadi toxic? Ada beberapa faktor yang mungkin memengaruhinya. Pertama, fase hidup yang berbeda. Setelah lulus, setiap orang menjalani jalan yang beda-beda. Ada yang langsung dapat kerja bagus, ada yang melanjutkan studi, ada yang merintis bisnis, ada yang masih job hunting, ada yang langsung menikah. Perbedaan nasib ini, ditambah budaya media sosial yang highlight reel abis, bikin potensi komparasi sosial makin tinggi.
Kedua, tekanan sosial dan ekspektasi. Masyarakat kita punya ekspektasi tinggi buat lulusan perguruan tinggi. Begitu lulus, pertanyaannya langsung, “Udah kerja di mana?”. Grup alumni jadi salah satu arena nggak langsung buat “membuktikan” diri udah sukses atau minimal udah dapat kerja. Ini mendorong sebagian orang buat pamer atau, di sisi lain, bikin yang belum beruntung makin tertekan.
Ketiga, minimnya filter dan etika berkomunikasi di grup besar. Di grup besar, apalagi yang anggotanya puluhan atau bahkan ratusan, seringkali etika berkomunikasi jadi longgar. Orang jadi lebih berani blak-blakan, forward sembarangan, atau berkomentar provokatif karena merasa “aman” di balik layar HP dan banyaknya anggota lain. Admin grup kadang juga nggak siap atau nggak peduli buat ngatur arus informasi.
Menghadapi Grup WA Alumni yang Mulai Toxic¶
Kalau grup WA alumni angkatanmu sudah menunjukkan tanda-tanda ketoksikan di atas, apa yang bisa dilakukan? Keluar dari grup mungkin jadi pilihan paling gampang dan instan buat menenangkan diri. Tapi, kadang ada rasa nggak enak atau takut kehilangan informasi penting (meskipun informasinya jarang penting, sih).
Pilihan lain adalah mematikan notifikasi (mute). Ini cara paling umum dan efektif buat mengurangi gangguan tanpa harus meninggalkan grup sepenuhnya. Kita masih bisa scroll kalau lagi senggang, tapi nggak kaget-kaget lagi tiap ada notifikasi yang isinya nggak jelas atau bikin sakit hati. Matikan notifikasi selamanya kalau perlu.
Selain itu, filter informasi dan interaksi. Nggak semua postingan di grup harus dibaca atau ditanggapi. Kalau ada info loker yang mencurigakan, abaikan saja atau cek dulu kebenarannya sebelum ditanggapi. Kalau ada yang mulai pamer, ya biarkan saja, nggak usah dibandingkan sama hidup kita. Kalau ada yang mulai debat nggak penting, jangan ikut terpancing. Fokus sama anggota grup yang interaksinya positif dan genuine.
Mencari Dukungan di Tempat Lain¶
Grup WA alumni angkatan memang punya potensi jadi support system yang bagus. Tapi kalau potensinya nggak terwujud dan malah jadi sumber stress, jangan dipaksa. Cari support system lain yang lebih sehat. Mungkin grup WA yang lebih kecil dengan teman-teman dekat saja, komunitas yang relevan dengan minat atau profesimu, atau bahkan support group khusus buat yang lagi job hunting atau struggling di awal karier.
Penting untuk diingat, kesuksesan itu nggak ada definisi tunggalnya. Jalannya setiap orang beda-beda, ritmenya juga beda-beda. Melihat teman lain “lebih” dulu sukses di satu sisi nggak berarti hidup kita “gagal”. Fokus pada proses dan progress diri sendiri itu jauh lebih penting daripada pusing membandingkan diri sama postingan highlight di grup WA.
Pada akhirnya, grup WA alumni hanyalah salah satu platform komunikasi. Kalau keberadaannya justru lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif buat kesehatan mental dan emosional kita di fase krusial pasca-kuliah ini, nggak ada salahnya kok mengatur ulang interaksi kita di sana, atau bahkan keluar dari grup tersebut. Prioritaskan diri sendiri.
Gimana nih pengalaman teman-teman dengan grup WA alumni angkatan? Ada yang senasib? Atau justru grupnya suportif banget? Share dong cerita atau tips kalian di kolom komentar!
Posting Komentar