Kenalan Lebih Dekat dengan Sunan Muria: Kisah Hidup, Dakwah, & Warisannya

Table of Contents

Sunan Muria adalah salah satu dari sembilan wali atau yang populer disebut Wali Songo. Beliau sering dianggap sebagai wali yang paling muda di antara para sunan lainnya. Perannya sangat penting dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa, khususnya di daerah pedalaman yang masih kental dengan kepercayaan lama.

Makam Sunan Muria

Sebagai seorang wali, Sunan Muria dikenal karena pendekatan dakwahnya yang unik dan sangat mengakar pada budaya lokal. Beliau tidak serta merta menghapus tradisi lama, melainkan memadukannya dengan ajaran Islam. Ini membuat ajaran beliau mudah diterima oleh masyarakat yang sebelumnya mungkin merasa asing dengan agama baru. Pendekatan ini mirip dengan yang dilakukan oleh Wali Songo lainnya, tapi Sunan Muria punya ciri khas tersendiri, terutama karena wilayah dakwahnya yang spesifik.

Dua Versi Silsilah Sunan Muria

Mengenai asal-usul Sunan Muria, ada beberapa versi yang berkembang di masyarakat dan catatan sejarah. Dalam buku Atlas Wali Songo yang ditulis oleh Agus Sunyoto, setidaknya ada dua versi utama tentang silsilah beliau. Versi pertama menyebutkan bahwa Sunan Muria adalah putra sulung dari Sunan Kalijaga, seorang wali yang juga sangat terkenal dengan dakwah kulturalnya.

Menurut versi ini, nama asli Sunan Muria adalah Raden Umar Said. Beliau memiliki dua adik perempuan, yaitu Dewi Rukayah dan Dewi Sofiyah. Kaitan dengan Sunan Kalijaga membuat pendekatan dakwahnya yang berbasis budaya menjadi lebih masuk akal, mengingat Sunan Kalijaga juga sangat mahir dalam memanfaatkan seni dan tradisi lokal.

Namun, ada juga versi kedua yang mengatakan bahwa Sunan Muria adalah putra dari Sunan Ngudung. Sunan Ngudung ini adalah salah satu panglima perang Kesultanan Demak dan juga ayah dari Sunan Kudus. Dalam versi ini, Sunan Muria disebut sebagai anak pertama dari empat bersaudara, termasuk Sunan Giri III, Raden Amir Haji Sunan Kudus, dan Sunan Giri II (meskipun Sunan Giri II ini biasanya diasosiasikan dengan penerus Sunan Giri di Giri Kedaton, bukan saudara sekandung Sunan Kudus).

Agus Sunyoto dalam bukunya cenderung lebih percaya pada versi pertama yang menyebut Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga. Alasannya didukung oleh beberapa data historis, salah satunya adalah nama putra Sunan Muria yang bernama Sunan Adilangu. Adilangu merujuk pada nama tempat kediaman Sunan Kalijaga. Keterkaitan nama tempat ini dianggap sebagai petunjuk kuat adanya hubungan keluarga antara Sunan Muria dan Sunan Kalijaga.

Meskipun begitu, penting untuk diingat bahwa banyak catatan mengenai Wali Songo berasal dari legenda, cerita tutur, dan babad yang ditulis jauh setelah era mereka. Oleh karena itu, silsilah ini tetaplah berdasarkan pada sumber-sumber yang perlu dikaji lebih lanjut secara historis. Keberadaan dua versi ini menunjukkan betapa kayanya narasi tentang para Wali Songo di masyarakat Jawa, meskipun kadang menimbulkan perbedaan penafsiran. Apapun silsilah pastinya, yang jelas adalah Sunan Muria merupakan figur penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara.

Nama dan Julukan

Selain nama asli Raden Umar Said (dalam versi Sunan Kalijaga), Sunan Muria juga dikenal dengan nama Raden Prawoto atau Raden Umar. Julukan “Muria” sendiri diambil dari nama gunung tempat beliau berdakwah dan menetap. Ini menunjukkan betapa lekatnya identitas beliau dengan wilayah tempat beliau beraktivitas menyebarkan agama Islam. Gunung Muria bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga pusat kegiatan dakwahnya.

Sunan Muria lahir diperkirakan sekitar abad ke-15. Masa hidupnya sezaman dengan puncak kejayaan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa yang didirikan dengan peran aktif para Wali Songo. Beliau tumbuh di lingkungan yang kental dengan ajaran Islam dan tradisi Jawa. Lingkungan inilah yang membentuk karakter dakwahnya kelak, yang moderat dan menghargai kearifan lokal.

Kehidupan Pribadi (berdasarkan berbagai sumber dan legenda)

Meskipun catatan sejarah resmi tentang kehidupan pribadi Wali Songo, termasuk Sunan Muria, cukup terbatas dan banyak bercampur dengan legenda, beberapa sumber menyebutkan tentang keluarga beliau. Sunan Muria diperkirakan memiliki beberapa istri dan anak. Salah satu istrinya disebut bernama Dewi Sujinah, putri dari Sunan Ngudung (versi yang menghubungkannya dengan Sunan Kalijaga). Ini menarik, karena dalam versi Sunan Ngudung adalah ayahnya, di sini Dewi Sujinah adalah putrinya yang dinikahkan dengan Sunan Muria (Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga). Kerumitan silsilah ini memang menjadi ciri khas catatan sejarah lisan.

Dari pernikahannya, Sunan Muria memiliki putra yang cukup dikenal, yaitu Sunan Adilangu. Seperti yang disebutkan sebelumnya, nama Adilangu ini sering dijadikan petunjuk kaitan Sunan Muria dengan Sunan Kalijaga yang bermukim di Adilangu. Ada juga nama-nama lain yang disebut sebagai keturunannya dalam beberapa silsilah lokal, meskipun validitasnya bervariasi. Keberadaan keturunan ini menunjukkan bahwa ajaran dan pengaruh Sunan Muria terus berlanjut dari generasi ke generasi melalui jalur keluarga dan murid-muridnya.

Area dakwah Sunan Muria yang spesifik di lereng Gunung Muria juga memengaruhi gaya hidupnya. Beliau hidup berbaur dengan masyarakat petani, pedagang, dan nelayan di daerah tersebut. Keseharian yang dekat dengan rakyat biasa membuat beliau memahami betul denyut nadi kehidupan mereka, kesulitan, serta tradisi yang mereka jalani. Pemahaman inilah yang menjadi kunci keberhasilan dakwah kulturalnya.

Pendekatan Dakwah Sunan Muria

Pendekatan dakwah Sunan Muria adalah contoh nyata bagaimana Islam bisa diterima di Nusantara tanpa konfrontasi langsung dengan keyakinan dan tradisi yang sudah ada. Merujuk pada berbagai sumber, termasuk artikel dan buku tentang Wali Songo, Sunan Muria memulai dakwahnya bahkan sejak usia muda. Saat renovasi kedua Masjid Agung Demak selesai pada tahun 1479, Sunan Muria disebut-sebut ikut berperan sebagai muazin. Ini menunjukkan keterlibatannya dalam kegiatan keagamaan sejak awal karier dakwahnya di lingkungan Kesultanan Demak.

Filosofi utama dakwah Sunan Muria adalah pendekatan kultural, atau yang sering disebut sebagai “dakwah bil hikmah”. Beliau sangat menghargai agama dan kepercayaan lama yang dianut masyarakat. Bukannya melarang atau menghancurkan, beliau justru mencari titik temu antara ajaran Islam dengan tradisi lokal. Tradisi yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam dipertahankan, bahkan diberi sentuhan Islami. Sementara yang bertentangan, diubah secara perlahan dan bijaksana.

Salah satu metode dakwah yang paling terkenal dari Sunan Muria adalah melalui seni dan budaya, khususnya penggunaan bahasa, tembang (lagu tradisional Jawa), dan pertunjukan wayang. Beliau menciptakan tembang-tembang bernapaskan Islam dengan lirik yang mudah dipahami oleh masyarakat awam. Tembang-tembang ini biasanya berisi ajaran moral, budi pekerti, dan nilai-nilai keimanan, disampaikan dengan nada yang syahdu dan menyentuh hati. Melalui tembang, ajaran Islam meresap ke dalam sanubari masyarakat.

Selain tembang, Sunan Muria juga memanfaatkan pertunjukan wayang sebagai media dakwah yang ampuh. Wayang sudah menjadi hiburan dan sarana penyampaian nilai-nilai moral di Jawa sejak lama. Sunan Muria tidak serta merta mengubah total cerita wayang yang ada, tetapi menyisipkan ajaran Islam ke dalam alur cerita atau dialog antar tokohnya. Beliau dikenal mementaskan lakon-lakon yang populer seperti Dewa Ruci, Jamus Kalimasada, dan Semar Ambarang Jantur. Dalam pementasan wayang, tokoh-tokoh pewayangan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tauhid, akhlak mulia, pentingnya shalat, puasa, dan nilai-nilai keislaman lainnya secara halus dan tidak menggurui.

Mengadaptasi “Topo Ngeli”

Pendekatan Sunan Muria dalam berbaur dengan masyarakat di daerah terpencil kemungkinan besar terinspirasi dari ajaran ayahnya (versi pertama), Sunan Kalijaga, yang dikenal dengan filosofi topo ngeli. Secara harfiah, topo ngeli berarti “bertapa mengikuti aliran sungai”. Maknanya adalah seseorang yang menceburkan diri ke dalam masyarakat, mengikuti ke mana arus kehidupan masyarakat itu membawanya, beradaptasi, dan berbaur sepenuhnya. Ini bukan berarti pasrah tanpa berbuat apa-apa, melainkan memahami kondisi masyarakat dari dalam dan memberikan pengaruh positif secara bertahap.

Sunan Muria menerapkan prinsip topo ngeli ini di daerah yang cukup sulit dijangkau, yaitu di pedalaman lereng Gunung Muria. Wilayah ini secara geografis terisolasi dibandingkan dengan daerah pesisir atau perkotaan seperti Demak atau Kudus. Masyarakat di lereng gunung memiliki cara hidup dan kepercayaan yang mungkin berbeda dengan masyarakat pesisir. Dengan memilih berdakwah di sana dan berbaur dengan mereka, Sunan Muria menunjukkan komitmen untuk menjangkau semua lapisan masyarakat, bahkan yang terpinggirkan sekalipun.

Kehidupan di daerah pegunungan membuat Sunan Muria akrab dengan masyarakat petani. Beliau sering memberikan nasihat-nasihat terkait pertanian yang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti pentingnya bersyukur atas rezeki dari Allah, pentingnya bekerja keras, dan kejujuran dalam bertani. Nasihat-nasihat ini disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima. Beliau juga dikenal sering membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bertindak sebagai penengah atau hakim yang bijaksana.

Salah satu julukan lain yang melekat pada Sunan Muria adalah “Sunan Gunung Jati Kedua”, meskipun julukan ini lebih sering dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Cirebon dan Banten. Namun, julukan tersebut (jika memang ada yang menggunakannya untuk Sunan Muria) mungkin mencerminkan peran beliau yang sama-sama berdakwah dari wilayah “gunung” atau dataran tinggi, berbeda dengan beberapa wali lain yang fokus di pesisir.

Pendekatan dakwah yang sabar, arif, dan membumi inilah yang membuat ajaran Sunan Muria diterima dengan baik di kalangan masyarakat lereng Gunung Muria dan sekitarnya. Beliau berhasil mengislamkan banyak penduduk tanpa menimbulkan gejolak sosial atau penolakan yang berarti. Warisan dakwahnya masih terasa hingga kini, di mana masyarakat di sekitar Gunung Muria dikenal religius namun tetap melestarikan tradisi lokal.

Strategi Dakwah Lainnya

Selain seni tembang dan wayang, Sunan Muria juga menggunakan metode dakwah lain yang relevan dengan kondisi masyarakat setempat. Beliau dikenal sering mengadakan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat, memberikan ceramah, dan berdiskusi tentang ajaran Islam. Pertemuan ini seringkali dilakukan di tempat-tempat umum atau di rumah penduduk, menciptakan suasana yang akrab dan santai.

Beliau juga mengajarkan keterampilan hidup kepada masyarakat, seperti cara berdagang yang jujur, cara bercocok tanam yang baik, atau keterampilan membuat kerajinan. Keterampilan ini diajarkan sambil menyisipkan nilai-nilai keislaman, bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan dengan niat baik adalah ibadah, dan pentingnya mencari rezeki yang halal. Dengan cara ini, Islam tidak hanya diajarkan sebagai seperangkat ritual, tetapi juga sebagai way of life yang memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

Sunan Muria juga dikenal memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Beliau sering membantu fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan. Tindakan nyata dalam membantu sesama ini menjadi bukti nyata keindahan ajaran Islam yang menekankan pentingnya solidaritas dan kasih sayang antar sesama manusia. Sikap dan perbuatan beliau menjadi teladan hidup bagi masyarakat.

Warisan Sunan Muria

Jejak dakwah Sunan Muria yang paling terlihat hingga saat ini adalah keberadaan kompleks makam dan masjid beliau yang terletak di puncak Gunung Muria, masuk dalam wilayah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Makam Sunan Muria menjadi tujuan ziarah yang ramai dikunjungi oleh umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Ziarah ke makam beliau merupakan bentuk penghormatan dan upaya mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah hidup dan perjuangan dakwahnya.

Kompleks makam Sunan Muria memiliki arsitektur yang unik, memadukan gaya tradisional Jawa dengan sentuhan Islam. Untuk mencapai lokasi makam di puncak, para peziarah harus menaiki banyak anak tangga atau menggunakan jasa ojek. Perjalanan menuju makam ini sering dianggap sebagai simbol perjuangan dalam menuntut ilmu atau mendekatkan diri kepada Allah, mirip dengan perjuangan Sunan Muria yang berdakwah di tempat tinggi dan terpencil.

Di kompleks tersebut, selain makam Sunan Muria sendiri, terdapat juga makam para pengikut setia dan kerabat beliau. Bangunan masjid di kompleks ini juga merupakan peninggalan bersejarah. Meskipun sudah mengalami renovasi berkali-kali, elemen-elemen arsitektur asli yang mencerminkan perpaduan budaya masih bisa dilihat. Masjid ini berfungsi sebagai tempat shalat bagi para peziarah dan masyarakat sekitar.

Selain bangunan fisik, beberapa artefak juga dianggap sebagai peninggalan Sunan Muria dan masih tersimpan di kompleks tersebut. Peninggalan ini antara lain adalah umpak (batu alas tiang) yang kemungkinan merupakan bagian dari bangunan awal, pelana kuda yang dipercaya pernah digunakan oleh Sunan Muria, gentong (tempat air) yang mungkin digunakan untuk wudhu atau keperluan lain, serta daun pintu kuno. Artefak-artefak ini memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan dan masa dakwah beliau.

Pengaruh Sunan Muria juga masih terasa dalam tradisi masyarakat di sekitar Gunung Muria. Misalnya, tradisi buka luwur (mengganti kain penutup makam) yang seringkali disertai dengan acara keagamaan dan budaya. Tembang-tembang ciptaan Sunan Muria atau yang terinspirasi dari ajaran beliau juga masih dilestarikan oleh beberapa kelompok seni tradisional. Nilai-nilai kearifan lokal yang dipadukan dengan ajaran Islam, seperti gotong royong, toleransi, dan kesederhanaan, juga tetap hidup di kalangan masyarakat.

Sunan Muria bukan hanya mewariskan bangunan fisik, tetapi juga mewariskan metode dakwah yang relevan sepanjang masa: pentingnya memahami dan menghargai budaya lokal, berdakwah dengan cara yang lembut dan bijaksana, serta berbaur langsung dengan masyarakat, khususnya mereka yang berada di pinggiran. Beliau membuktikan bahwa Islam bisa tumbuh dan berkembang di mana saja, bahkan di daerah yang paling terpencil sekalipun, asalkan disampaikan dengan penuh cinta dan kearifan. Warisannya ini menjadi inspirasi bagi para pendakwah modern untuk terus mencari cara-cara kreatif dan kontekstual dalam menyampaikan pesan kebaikan.

Banyak peziarah datang ke makam Sunan Muria tidak hanya untuk berziarah, tetapi juga untuk merenung dan mengambil hikmah dari perjuangan beliau. Ketinggian lokasi makam sering diinterpretasikan sebagai simbol tingginya kedudukan spiritual beliau, atau perjuangan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan yang mulia. Suasana pegunungan yang sejuk dan tenang juga mendukung suasana kontemplasi bagi para peziarah.

Sebagai penutup, kisah Sunan Muria adalah pengingat bahwa penyebaran agama Islam di Nusantara adalah proses yang kompleks dan dilakukan dengan beragam strategi. Peran para Wali Songo, termasuk Sunan Muria, dalam mengadaptasi dan mengintegrasikan ajaran Islam dengan budaya lokal adalah kunci keberhasilan mereka. Beliau adalah sosok wali yang gigih, bijaksana, dan sangat dekat dengan rakyat jelata, meninggalkan warisan yang berharga bagi sejarah dan budaya Indonesia.

Video Terkait Sunan Muria

Untuk memahami lebih dalam tentang Sunan Muria dan warisannya, teman-teman bisa menonton video-video dokumenter atau kajian tentang beliau.

Misalnya, cuplikan tentang makam Sunan Muria dan kegiatan ziarah di sana:

[embedly-youtube-link]

(Catatan: Mohon maaf, sebagai model teks AI, saya tidak dapat secara langsung mencari dan menyisipkan kode embed video YouTube. Anda bisa mencari video yang relevan di YouTube dengan kata kunci “Makam Sunan Muria”, “Biografi Sunan Muria”, atau “Dakwah Sunan Muria” dan menyisipkan link-nya di sini.)

Video-video tersebut seringkali menampilkan suasana di kompleks makam, wawancara dengan juru kunci atau peziarah, serta penjelasan singkat tentang sejarah dan ajaran beliau. Menonton video bisa memberikan gambaran visual yang lebih kaya dibandingkan hanya membaca teks.

Sunan Muria dalam Lensa Sejarah dan Budaya

Meskipun catatan sejarah resmi tentang Wali Songo terbatas, keberadaan mereka sangat nyata dalam memori kolektif masyarakat Jawa. Kisah-kisah mereka diwariskan secara turun-temurun melalui berbagai medium, mulai dari cerita lisan, naskah-naskah kuno (seperti Babad Tanah Jawi), hingga seni pertunjukan seperti wayang dan tembang. Sunan Muria, dengan ciri khas dakwahnya di daerah pegunungan dan melalui seni, memiliki tempat khusus dalam narasi ini.

Dalam konteks sejarah Indonesia, peran Wali Songo, termasuk Sunan Muria, sangat krusial dalam proses Islamisasi yang damai dan bertahap. Mereka tidak hanya mengajarkan ajaran agama, tetapi juga berkontribusi dalam pembentukan peradaban baru, seperti pendirian Kesultanan Demak, pengembangan arsitektur masjid, dan pelestarian serta pengayaan seni budaya lokal dengan nilai-nilai Islami. Sunan Muria adalah bagian integral dari mozaik sejarah Islam di Nusantara.

Kisah hidup dan dakwah Sunan Muria mengajarkan kita banyak hal tentang pentingnya kontekstualisasi dakwah, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan cara penyampaian ajaran agama dengan kondisi, budaya, dan kearifan lokal masyarakat yang dihadapi. Beliau adalah teladan bagi para pendakwah untuk mendekati umat dengan hikmah (kebijaksanaan) dan mau’idzah hasanah (nasihat yang baik), bukan dengan pemaksaan atau penghakiman. Warisan spiritual dan budayanya terus menginspirasi hingga generasi kini.


Bagaimana pendapat kamu tentang pendekatan dakwah Sunan Muria yang berbasis budaya? Atau mungkin kamu punya pengalaman berziarah ke makam beliau? Yuk, bagikan cerita dan pemikiranmu di kolom komentar!

Posting Komentar