Kenalan Yuk dengan Sunan Muria: Kisah, Dakwah, & Warisannya!

Table of Contents

Sunan Muria adalah salah satu tokoh terkemuka dalam jajaran Wali Songo, sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa. Beliau sering disebut-sebut sebagai anggota Wali Songo yang paling muda. Peran Sunan Muria sangat penting dalam sejarah penyebaran Islam, khususnya di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Uniknya, beliau memilih jalur dakwah yang sangat merakyat dan menyentuh langsung kehidupan sehari-hari masyarakat kala itu.

Kenalan Yuk dengan Sunan Muria

Beliau menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat yang budayanya masih sangat kental dengan kepercayaan lama, seperti Hindu, Buddha, atau animisme. Seperti kebanyakan Wali Songo lainnya, pendekatan dakwah yang dipilih Sunan Muria sangatlah bijak dan adaptif. Beliau nggak langsung ‘menghapus’ kebudayaan yang sudah ada, tapi justru memanfaatkannya sebagai media untuk menyampaikan ajaran Islam. Metode inilah yang membuatnya dicintai dan diterima oleh masyarakat luas.

Siapa Sih Sunan Muria Itu?

Sunan Muria punya nama asli Raden Umar Said. Ada juga yang menyebutnya Raden Prawoto. Nama “Muria” sendiri diambil dari nama gunung tempat beliau bermukim dan berdakwah, yaitu Gunung Muria di perbatasan Kudus, Pati, dan Jepara, Jawa Tengah. Beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana, berinteraksi langsung dengan masyarakat lereng gunung yang mungkin agak jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Keberadaan Sunan Muria sebagai bagian dari Wali Songo menunjukkan pentingnya peran beliau dalam jaringan ulama dan pemimpin Islam di Jawa pada masa transisi dari era Majapahit ke era kesultanan-kesultanan Islam seperti Demak. Beliau berkontribusi besar dalam peletakan dasar-dasar Islam yang harmonis dengan budaya lokal.

Dua Versi Silsilah: Putra Siapa Beliau Sebenarnya?

Membicarakan silsilah Wali Songo memang seringkali punya beberapa versi yang beredar di masyarakat maupun catatan sejarah. Begitu juga dengan silsilah Sunan Muria, ada dua versi utama yang sering disebut-sebut. Perbedaan silsilah ini menunjukkan betapa kompleksnya pencatatan sejarah lisan maupun tertulis di masa lalu, namun keduanya tetap mengaitkan beliau dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam di Jawa.

Versi Pertama: Putra Sunan Kalijaga

Versi silsilah yang paling banyak dikenal dan didukung oleh beberapa catatan sejarah adalah yang menyebutkan bahwa Sunan Muria adalah putra sulung dari Sunan Kalijaga, Wali Songo yang terkenal dengan dakwahnya melalui seni dan budaya. Menurut versi ini, ibu Sunan Muria adalah Dewi Sarah, putri dari Syekh Maulana Ishak, ulama dari Samudra Pasai dan saudara kandung Sunan Giri. Jadi, dalam versi ini, Sunan Muria punya kakek dari pihak ibu yang juga merupakan tokoh penting dalam jaringan Wali Songo.

Selain Raden Umar Said (Sunan Muria), Sunan Kalijaga dan Dewi Sarah juga memiliki dua anak perempuan, yaitu Dewi Rukayah dan Dewi Sofiyah. Keterkaitan silsilah ini dengan Sunan Kalijaga menjadikan Sunan Muria seolah-olah ‘mewarisi’ jalur dakwah kultural yang sangat kuat dari ayahnya. Dukungan terhadap versi ini juga datang dari nama salah satu putra Sunan Muria, yaitu Sunan Adilangu, yang merujuk pada nama daerah tempat tinggal Sunan Kalijaga di dekat Demak. Meskipun begitu, penting dicatat bahwa sebagian besar silsilah ini masih sangat bergantung pada tradisi lisan dan babad, yang kadang bercampur dengan unsur legenda.

Versi Kedua: Putra Sunan Ngudung

Versi silsilah lain yang juga beredar menyebutkan bahwa Sunan Muria adalah putra dari Sunan Ngudung. Sunan Ngudung adalah salah satu panglima perang Kesultanan Demak dan ayah dari Sunan Kudus, Wali Songo lainnya yang terkenal dengan dakwahnya di daerah Kudus. Menurut versi ini, Sunan Muria (Raden Umar Said/Prawoto) adalah anak pertama dari empat bersaudara.

Saudara-saudaranya antara lain adalah Sunan Giri III (yang konon bukan Sunan Giri yang merupakan pendiri Giri Kedaton), Raden Amir Haji (Sunan Kudus), dan Sunan Giri II (juga versi lain dari Sunan Giri). Jika versi ini yang benar, maka Sunan Muria memiliki ikatan keluarga yang sangat dekat dengan Sunan Kudus, yang wilayah dakwahnya bertetangga dengannya. Namun, versi pertama yang mengaitkannya dengan Sunan Kalijaga memang lebih dominan dalam narasi sejarah Wali Songo populer. Mana pun versi yang benar, kedua silsilah ini menempatkan Sunan Muria dalam lingkungan keluarga ulama dan tokoh berpengaruh pada masanya.

Nama Asli & Kehidupan Awal

Seperti disebutkan sebelumnya, nama asli Sunan Muria adalah Raden Umar Said atau Raden Prawoto. Nama ini mencerminkan identitas beliau sebelum dikenal luas sebagai “Sunan Muria”. Kelahiran dan masa kecil Raden Umar Said diperkirakan berada di lingkungan keluarga yang taat beragama dan punya koneksi kuat dengan lingkaran ulama maupun bangsawan. Jika benar putra Sunan Kalijaga, masa kecilnya mungkin diwarnai dengan pendidikan agama yang mendalam sekaligus pengenalan pada berbagai bentuk kesenian dan kebudayaan Jawa yang kelak menjadi media dakwahnya.

Lingkungan keluarga Sunan Kalijaga yang sangat adaptif dan terbuka terhadap budaya lokal tentu sangat memengaruhi cara pandang dan metode dakwah Sunan Muria di kemudian hari. Ia tumbuh di tengah diskusi-diskusi para ulama dan seniman, melihat bagaimana ajaran Islam bisa disampaikan dengan cara yang halus dan menyentuh hati masyarakat awam. Pengalaman awal inilah yang membentuk karakter dakwahnya yang khas, yaitu topo ngeli.

Konteks Zaman Dakwah Beliau

Masa dakwah Sunan Muria adalah periode penting dalam sejarah Jawa, yaitu sekitar abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Pada masa itu, pengaruh Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha mulai memudar, sementara kesultanan-kesultanan Islam seperti Demak mulai tumbuh dan menguat. Masyarakat Jawa saat itu masih memegang teguh tradisi dan kepercayaan lama, termasuk animisme, dinamisme, serta sinkretisme antara Hindu-Buddha dengan kepercayaan lokal.

Para Wali Songo, termasuk Sunan Muria, memiliki tugas berat namun mulia: mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam di tengah keberagaman kepercayaan tersebut. Mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan atau pemaksaan, melainkan pendekatan yang damai, persuasif, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Mereka memahami betul bahwa perubahan kepercayaan adalah proses yang butuh waktu dan kesabaran, serta harus dilakukan dengan cara yang bijak agar tidak menimbulkan penolakan.

Strategi Dakwah yang Nggak Biasa: Lewat Budaya

Salah satu ciri khas dakwah Sunan Muria yang paling menonjol adalah penggunaan pendekatan kultural. Beliau nggak sekadar mengajarkan Rukun Islam atau Rukun Iman, tapi juga ‘mengisi’ tradisi dan kesenian lokal dengan nilai-nilai Islam. Tujuannya adalah agar masyarakat merasa akrab dan nggak asing dengan ajaran baru ini, karena disampaikan melalui medium yang sudah mereka kenal dan cintai. Metode ini terbukti sangat efektif dan menjadi warisan berharga hingga kini.

Beliau nggak menolak mentah-mentah budaya yang sudah ada. Sebaliknya, beliau memilih elemen-elemen budaya yang positif dan kemudian memasukkan pesan-pesan tauhid, akhlak mulia, dan syariat Islam ke dalamnya. Ini adalah bukti kecerdasan dan kearifan Sunan Muria dalam berdakwah.

Tembang: Pesan Islam Lewat Alunan Musik

Sunan Muria dikenal mahir menciptakan dan menyebarkan ajaran Islam melalui tembang atau nyanyian tradisional Jawa. Beliau menggunakan berbagai bentuk tembang Macapat, seperti Sinom dan Kinanthi, yang memang populer di kalangan masyarakat Jawa saat itu. Lirik-lirik tembang ciptaannya berisi ajaran moral, tauhid, kisah para nabi, serta nilai-nilai keislaman yang dibungkus dalam bahasa yang indah dan mudah dicerna.

Melalui tembang, ajaran Islam terasa lebih ringan dan menyenangkan untuk dipelajari. Masyarakat bisa menghafal liriknya saat beraktivitas sehari-hari atau saat berkumpul. Ini adalah cara yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai agama secara perlahan tapi pasti, tanpa kesan menggurui atau memaksa.

Wayang: Cerita Pewayangan Bernuansa Islami

Sama seperti ayahnya (menurut versi pertama), Sunan Muria juga memanfaatkan kesenian wayang sebagai media dakwah yang ampuh. Beliau sering mengadakan pertunjukan wayang, tetapi dengan modifikasi cerita dan karakter yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Beberapa lakon wayang yang konon sering dibawakan atau dimodifikasi oleh Wali Songo, termasuk Sunan Muria, antara lain Dewa Ruci, Jamus Kalimasada, dan Semar Ambarang Jantur.

Dalam lakon Dewa Ruci, misalnya, kisah pencarian jati diri Bima bisa dimaknai sebagai perjalanan spiritual menuju pengenalan diri dan Tuhan. Lakon Jamus Kalimasada bisa diartikan sebagai syahadat atau kalimat tauhid yang menjadi ‘senjata’ utama umat Islam. Karakter Semar dalam Semar Ambarang Jantur sering diinterpretasikan sebagai representasi rakyat jelata atau figur bijak yang menyampaikan kritik sosial dan ajaran kebaikan. Melalui wayang, masyarakat terhibur sekaligus mendapatkan pelajaran agama dan moral.

Konsep ‘Topo Ngeli’: Menyelami Arus Masyarakat

Metode dakwah Sunan Muria yang memilih untuk tinggal di daerah pegunungan dan berbaur dengan masyarakat pinggiran sering dikaitkan dengan ajaran topo ngeli yang konon diwariskan dari Sunan Kalijaga. Secara harfiah, topo berarti bertapa atau menyepi, sementara ngeli berarti menghanyutkan diri atau mengikuti arus sungai. Namun, dalam konteks spiritual dan dakwah, topo ngeli dimaknai sebagai laku tirakat (spiritual discipline) dengan cara ‘menyelami’ dan berbaur sepenuhnya dengan kehidupan masyarakat.

Artinya, seorang dai atau penyebar agama harus mau turun ke bawah, memahami kondisi, kebiasaan, dan bahasa masyarakat yang dihadapinya. Mereka nggak boleh ‘berdiri di tepi sungai’ sambil berteriak memerintahkan orang, tapi justru harus ‘masuk ke dalam arus sungai’ kehidupan masyarakat, merasakan arusnya, dan dari dalam situlah mereka membimbing dan mengarahkan secara perlahan. Sunan Muria mempraktikkan ini dengan tinggal di gunung dan berinteraksi langsung dengan petani, pedagang kecil, atau masyarakat pedesaan, memberikan solusi atas masalah mereka, dan memasukkan nilai-nilai Islam dalam keseharian.

Wilayah Dakwah yang Unik: Lereng Gunung Muria

Berbeda dengan sebagian Wali Songo lain yang berdakwah di kota-kota pelabuhan atau pusat kerajaan, Sunan Muria memilih wilayah dakwah yang cukup unik, yaitu daerah pegunungan dan pedalaman di sekitar Gunung Muria. Lokasi ini menunjukkan bahwa dakwah Islam nggak hanya menyasar kaum urban atau bangsawan, tapi juga masyarakat yang tinggal jauh dari pusat kekuasaan dan perdagangan.

Dengan memilih lokasi di gunung, Sunan Muria mungkin ingin fokus membina masyarakat pedesaan yang masih sangat kental dengan tradisi lokalnya. Beliau menjadi pusat spiritual dan rujukan bagi masyarakat di lereng-lereng gunung tersebut. Jejak dakwahnya di sana masih sangat terasa hingga kini, terutama dengan keberadaan kompleks Masjid dan Makam Sunan Muria yang selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.

Peran di Pusat Kekuasaan: Masjid Agung Demak

Meskipun lebih banyak beraktivitas di Gunung Muria, Sunan Muria juga memiliki peran di pusat Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Beliau konon sempat menjadi muazin ketika Masjid Agung Demak selesai direnovasi kedua kalinya pada tahun 1479 M. Keterlibatannya dalam pembangunan atau aktivitas di masjid utama kesultanan ini menunjukkan bahwa Sunan Muria juga diakui dan memiliki posisi di kalangan elit politik dan agama pada masa itu.

Kehadirannya di Demak mengindikasikan koneksi yang kuat dengan para pemimpin dan ulama lain di pusat pemerintahan. Hal ini juga menegaskan posisinya sebagai salah satu Wali Songo yang terlibat dalam jaringan penyebaran Islam di tingkat struktural, selain berdakwah langsung di tingkat masyarakat.

Keluarga Sunan Muria

Selain silsilah ke atas, Sunan Muria juga memiliki keturunan yang melanjutkan penyebaran agama Islam. Beliau menikah dengan Dewi Sujinah, putri dari Sunan Ngudung (dalam beberapa versi silsilah lain Dewi Sujinah adalah cucu Sunan Ngudung, putra dari Adipati Pathi, Ki Ageng Pathi). Dari pernikahan ini, Sunan Muria memiliki seorang putra yang juga menjadi ulama, yaitu Sunan Adilangu.

Seperti disebutkan sebelumnya, nama Sunan Adilangu sering dijadikan salah satu argumen pendukung silsilah Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga, karena Adilangu adalah nama tempat tinggal Sunan Kalijaga. Keberadaan keturunan yang juga menjadi tokoh agama menunjukkan bahwa perjuangan dakwah Sunan Muria diteruskan oleh generasi setelahnya.

Jejak & Peninggalan Abadi di Gunung Muria

Hingga kini, jejak peninggalan Sunan Muria yang paling nyata dan menjadi pusat ziarah adalah kompleks Masjid dan Makam Sunan Muria yang terletak di puncak Gunung Muria, Desa Colo, Kudus, Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian membuat peziarah harus menempuh perjalanan mendaki untuk mencapainya, menambah kesan spiritual pada kunjungan tersebut.

Kompleks Makam dan Masjid Sunan Muria

Kompleks ini mencakup makam Sunan Muria sendiri, makam keluarganya, serta sebuah masjid. Arsitektur masjid dan gapura makam menunjukkan perpaduan unsur budaya Jawa pra-Islam dengan sentuhan Islam. Misalnya, gapura paduraksa yang mengingatkan pada bangunan era Hindu-Buddha, namun dihiasi kaligrafi atau ornamen Islami. Keberadaan kompleks ini menjadi bukti sejarah dakwah Sunan Muria di wilayah tersebut.

Setiap hari, ribuan peziarah datang ke kompleks ini untuk berziarah, berdoa, dan mengenang perjuangan Sunan Muria. Tradisi ziarah ke makam Wali Songo adalah salah satu bentuk penghormatan masyarakat terhadap jasa-jasa mereka dalam menyebarkan Islam.

Benda-benda Bersejarah di Sekitar Makam

Di sekitar kompleks makam dan masjid, terdapat beberapa benda yang diyakini merupakan peninggalan atau terkait dengan Sunan Muria. Misalnya, umpak (batu alas tiang) yang diperkirakan berasal dari masa pembangunan awal masjid, pelana kuda yang konon pernah digunakan beliau, gentong atau tempayan air yang digunakan untuk wudu, dan daun pintu kuno. Benda-benda ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah dan aktivitas Sunan Muria di tempat tersebut. Mereka juga menjadi daya tarik tambahan bagi para peziarah dan peneliti sejarah.

Mengingat Warisan Sunan Muria Hari Ini

Warisan Sunan Muria nggak cuma terbatas pada kompleks makam dan peninggalan fisik saja. Yang lebih penting adalah warisan metode dakwahnya yang mengedepankan kearifan lokal dan budaya. Pendekatan ini mengajarkan bahwa Islam bisa berdialog dan bersanding harmonis dengan kebudayaan, bukannya saling meniadakan. Konsep topo ngeli juga relevan hingga kini, mengingatkan para pendakwah dan pemimpin untuk selalu dekat dengan masyarakat, memahami kesulitan mereka, dan memberikan solusi yang sesuai.

Beliau mengajarkan pentingnya kesabaran, kelembutan, dan keteladanan dalam menyampaikan kebaikan. Perjuangannya di daerah pegunungan menunjukkan bahwa dakwah harus menjangkau semua kalangan, termasuk mereka yang mungkin terpencil atau terlupakan. Sunan Muria adalah contoh nyata bagaimana iman bisa menyatu dengan identitas budaya lokal, menciptakan Islam Nusantara yang khas dan kaya.

Untuk mendalami lebih lanjut tentang Wali Songo dan konteks sejarahnya, mungkin bisa nonton video ini:
Sejarah Singkat Wali Songo
(Ganti your_youtube_video_id dengan ID video YouTube yang relevan, contohnya cari video tentang sejarah Wali Songo atau Sunan Muria)

Penutup & Ajak Diskusi

Nah, itu dia sekilas tentang Sunan Muria, Wali Songo yang berdakwah dari puncak gunung dengan pendekatan budaya yang unik. Kisah beliau mengajarkan kita banyak hal tentang toleransi, kearifan lokal, dan pentingnya berbaur dengan masyarakat.

Gimana menurut kalian tentang metode dakwah Sunan Muria? Apakah masih relevan di zaman sekarang? Punya pengalaman menarik saat ziarah ke Makam Sunan Muria? Yuk, share pendapat atau cerita kalian di kolom komentar di bawah!

Posting Komentar