Nonton Asyik! 7 Film Indonesia Jadul: Sejarah, Cinta, Bikin Baper!
Kadang, film terbaik itu yang bisa bikin kita serasa kembali ke masa lalu, ya? Lewat nuansa jadul yang punya ciri khas tersendiri, cerita-cerita yang berlatar zaman dulu ini sukses banget menghadirkan suasana yang bikin hati hangat, emosional, dan seringnya malah bikin kita melihat hidup dari sudut pandang yang beda. Film-film ini nggak cuma ngomongin soal peristiwa sejarah yang gede-gede, tapi juga tentang kisah cinta yang mendalam, perjuangan hidup yang nggak kenal lelah, dan gambaran kehidupan sehari-hari yang dibalut kental dengan budaya masa lampau.
Film Indonesia yang mengangkat tema zaman dulu itu punya cara unik dalam bercerita. Ada yang fokus ke kehidupan bangsawan Jawa yang penuh intrik, ada yang ngupas konflik ideologi yang panas, sampai yang romansa murni bikin senyum-senyum sendiri. Semua itu disajikan dengan visual yang estetik dan cerita yang dijamin bikin nyentuh hati penonton. Pas banget deh buat kamu yang lagi kangen sama vibes klasik atau pengen belajar sejarah sambil ditemani drama yang menarik. Yuk, langsung aja cek rekomendasi filmnya di bawah ini! Siap-siap buat terlempar ke masa lampau dan hanyut dalam kisahnya!
1. Kupu-Kupu Kertas (2024)¶
Film Kupu-Kupu Kertas ini mengangkat kisah cinta yang super tragis, letaknya pas banget di tengah kobaran konflik ideologi yang mencekam di masa kelam Indonesia, tepatnya tahun 1965. Ceritanya berpusat pada seorang gadis bernama Ning yang diperankan oleh Amanda Manopo. Ning berasal dari keluarga yang punya simpati kuat terhadap PKI. Nah, di sisi lain, ada pemuda bernama Ihsan, yang diperankan oleh Chicco Kurniawan. Ihsan ini justru datang dari keluarga yang lekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Bayangin, dua orang jatuh cinta tapi latar belakang keluarganya bertolak belakang banget.
Awalnya, perbedaan ideologi keluarga itu nggak jadi penghalang buat Ning dan Ihsan. Cinta mereka tumbuh begitu saja, seolah nggak peduli dengan ketegangan politik di luar sana. Namun, sayangnya, keadaan politik di Indonesia waktu itu makin memburuk dan ketegangan makin memuncak. Konflik ideologi yang tadinya mungkin cuma obrolan di rumah, tiba-tiba meledak jadi kekerasan fisik di jalanan.
Tragedi yang mengubah segalanya datang saat ayah Ning, Rekoso (diperankan Iwa K), bersama tangan kanannya yang garang, Busok (Reza Oktovian), memimpin serangan ke markas atau perkumpulan kelompok Ansor. Dalam serangan brutal itu, kakak Ihsan yang bernama Rasjid (Samo Rafael) tewas. Kematian Rasjid ini langsung memicu kemarahan besar dan kekacauan yang tak terkendali di masyarakat. Massa yang marah mulai bergerak, mencari dan memburu siapa saja yang terkait dengan PKI. Di tengah amukan massa yang haus balas dendam itu, Ihsan berada dalam posisi yang sulit. Dia tahu Ning dalam bahaya besar. Dengan segala keberanian dan nekat, Ihsan memutuskan untuk melarikan Ning. Tujuannya cuma satu: menyelamatkan nyawa Ning dan mencoba mempertahankan cinta mereka di tengah badai yang datang menerpa. Film ini menggambarkan betapa destruktifnya konflik ideologi bisa menghancurkan kehidupan pribadi dan hubungan antarmanusia, bahkan cinta yang tulus sekalipun. Suasana tegang, rasa takut, dan perjuangan untuk bertahan hidup tersaji kuat di film ini.
Meskipun mengambil latar tahun 1965, film Kupu-Kupu Kertas ini dirilis pada tahun 2024, menjadikannya salah satu film jadul atau bertema zaman dulu yang relatif baru. Film ini berusaha menghadirkan kembali atmosfer mencekam pada masa itu, di mana garis antara kawan dan lawan menjadi sangat tipis, dan perbedaan pandangan politik bisa berujung pada kekerasan. Sutradara dan para pemain berusaha keras menangkap nuansa kelam dan penuh gejolak yang terjadi, memberikan penonton gambaran tentang betapa sulitnya hidup di tengah polarisasi ekstrem. Pemilihan aktor-aktor muda seperti Amanda Manopo dan Chicco Kurniawan untuk memerankan karakter utama menunjukkan upaya untuk menarik penonton dari generasi sekarang agar bisa ikut merasakan dan memahami salah satu periode paling sensitif dalam sejarah Indonesia.
Cerita cinta terlarang antara Ning dan Ihsan menjadi jembatan bagi penonton untuk merasakan dampak personal dari konflik besar tersebut. Mereka adalah simbol dari individu-individu yang terjebak dalam pusaran sejarah yang lebih besar dari diri mereka. Pergambaran kekerasan dan ketakutan dalam film ini mungkin cukup intens, mencerminkan realitas suram yang dihadapi banyak orang pada tahun 1965. Film ini bukan hanya sekadar romansa, tapi juga drama sejarah yang mencoba mengingatkan kita tentang pentingnya toleransi dan bahaya perpecahan yang didasari perbedaan ideologi. Melalui kisah Ning dan Ihsan, penonton diajak merenung tentang harga mahal yang harus dibayar akibat konflik politik yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Film ini mengajak kita untuk tidak melupakan masa lalu agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan, sekaligus menunjukkan bahwa bahkan di tengah kegelapan, masih ada secercah harapan untuk cinta dan kemanusiaan, meskipun seringkali harus berakhir dengan pengorbanan yang besar.
2. Buya Hamka (2023)¶
Buya Hamka adalah film biopik megah yang menyoroti fase-fase krusial dan sangat penting dalam kehidupan seorang ulama besar, sastrawan ulung, dan tokoh nasional Indonesia, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih akrab disapa Buya Hamka. Film ini secara spesifik mengambil latar rentang tahun antara 1933 hingga 1945, sebuah periode di mana peran dan pengaruh Buya Hamka mulai berkembang pesat. Pemeran utama dalam film ini adalah aktor ternama Vino G. Bastian yang dipercaya memerankan sosok Buya Hamka. Di sampingnya, ada aktris cantik Laudya Cynthia Bella yang berperan sebagai istri setia Buya Hamka, Sitti Raham.
Kisah dalam film ini dibuka dengan momen ketika Buya Hamka mendapat kepercayaan besar untuk memimpin organisasi Muhammadiyah di Makassar. Di bawah kepemimpinan beliau yang visioner dan penuh gagasan, Muhammadiyah di Makassar mengalami kemajuan yang sangat pesat. Program-program dakwah dan pendidikan yang digagasnya berhasil menyentuh banyak lapisan masyarakat, membuat nama Buya Hamka semakin harum dan dikenal luas sebagai seorang pemimpin agama yang karismatik dan berpengaruh. Reputasi baiknya ini terus menyebar hingga ke berbagai daerah.
Titik balik yang signifikan dalam perjalanan hidup Buya Hamka di film ini terjadi ketika beliau mendapatkan tawaran penting. Beliau ditawari untuk memimpin sebuah majalah bergengsi bernama Panji Masyarakat, yang berbasis di Medan. Tawaran ini bukan keputusan yang mudah, karena menerimanya berarti Buya Hamka harus berpindah dari Padang Panjang, tempat keluarganya berada, dan menetap di Medan. Namun, berkat dukungan dan dorongan kuat dari sang istri tercinta, Sitti Raham, Buya Hamka akhirnya menerima posisi tersebut. Keputusan ini terbukti sangat penting. Di Medan, Buya Hamka mengambil alih kemudi majalah Panji Masyarakat dan mengubahnya menjadi sebuah platform yang progresif dan berani. Majalah ini tidak ragu untuk lantang menyuarakan aspirasi dan suara rakyat di tengah tekanan yang kuat dari pemerintah kolonial Belanda yang saat itu masih berkuasa di Indonesia.
Selain perannya sebagai pemimpin redaksi yang kritis terhadap penjajahan, Buya Hamka juga memanfaatkan Panji Masyarakat sebagai wadah untuk menerbitkan karya-karya sastranya yang legendaris. Di sinilah episode-episode roman terkenalnya mulai dimuat, memukau pembaca dengan alur cerita yang mendalam dan pesan moral yang kuat. Salah satu karya paling fenomenal yang lahir dari periode ini tentu saja adalah roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang hingga kini tetap menjadi salah satu karya sastra Indonesia paling berpengaruh. Film ini menggambarkan bagaimana Buya Hamka secara paralel menjalankan dua peran besar: sebagai aktivis pergerakan melalui tulisan-tulisannya di majalah dan sebagai sastrawan yang karyanya menyentuh hati banyak orang.
Namun, film Buya Hamka ini juga tidak ragu menunjukkan sisi lain dari perjuangan seorang tokoh besar. Di tengah kesibukan yang luar biasa dalam mengabdi pada bangsa dan agama, serta dedikasinya dalam dunia jurnalistik dan sastra, Buya Hamka terkadang harus membayar harga mahal. Kesibukannya yang padat seringkali membuatnya terpaksa melewatkan momen-momen berharga bersama keluarga tercinta. Film ini dengan jujur memperlihatkan dilema yang dihadapi Buya Hamka antara panggilan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ini memberikan gambaran yang lebih manusiawi tentang sosok pahlawan, menunjukkan bahwa di balik kebesaran mereka, ada pengorbanan pribadi yang harus dilakukan. Film ini tidak hanya mengedukasi penonton tentang sejarah hidup Buya Hamka, tetapi juga memberikan inspirasi tentang keteguhan iman, semangat perjuangan, dan pentingnya dukungan keluarga dalam mencapai cita-cita besar. Film Buya Hamka ini direncanakan rilis dalam beberapa volume, mengingat begitu kayanya perjalanan hidup beliau yang tidak mungkin dicakup dalam satu film saja, menunjukkan ambisi untuk menyajikan potret yang komprehensif dan mendalam tentang sang ulama karismatik.
3. Kadet 1947 (2021)¶
Film Kadet 1947 ini benar-benar mengangkat kisah nyata yang luar biasa heroik dari perjuangan sekelompok pemuda Indonesia. Latar film ini adalah masa Agresi Militer Belanda II, di mana kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan kembali diuji. Para pemuda yang jadi tokoh utama film ini adalah kadet-kadet atau calon penerbang dari Akademi Penerbangan Maguwo, Yogyakarta. Mereka masih dalam masa pelatihan, belum sepenuhnya menjadi pilot tempur yang berpengalaman. Namun, melihat situasi negara yang genting, di mana Belanda mencoba merebut kembali kekuasaannya, para kadet muda ini tidak tinggal diam.
Dipimpin oleh Sigit yang diperankan oleh Bisma Karisma, para kadet ini mengambil keputusan yang sangat berani dan nekat. Mereka memutuskan untuk tidak menunggu pelatihan mereka selesai, melainkan langsung terjun ke medan tempur. Tekad mereka bulat: ikut berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sudah diraih dengan susah payah. Mereka menyadari bahwa negara membutuhkan setiap warga negaranya, bahkan yang masih dalam pelatihan sekalipun, untuk berdiri di garis depan. Situasi saat itu memang sangat kritis, serangan Belanda datang dari berbagai arah, dan militer Indonesia masih dalam tahap awal pembentukan, kekurangan banyak hal, termasuk alutsista modern.
Bersama dengan rekan-rekannya sesama kadet seperti Mul (Kevin Julio), Har (Omara Esteghlal), dan Adji (Marthino Lio), Sigit dan kawan-kawan merencanakan sebuah misi yang tampaknya mustahil. Mereka akan menjalankan misi udara pertama yang pernah dilakukan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Bayangkan, misi tempur udara perdana dilakukan oleh kadet yang belum lulus, menggunakan pesawat-pesawat tua, dan dengan perlengkapan yang serba terbatas. Pesawat yang mereka gunakan adalah sisa-sisa peninggalan Jepang yang kondisinya sudah tidak prima dan mungkin tidak dirancang untuk misi tempur berat. Persiapan mereka sangat minim, latihan mereka pun belum paripurna, namun semangat patriotisme membakar jiwa mereka.
Puncak dari aksi heroik para kadet ini terjadi pada tanggal 29 Juli 1947. Di tanggal keramat itulah, mereka benar-benar melancarkan serangan udara perdana AURI. Dengan pesawat-pesawat tua mereka, para kadet ini terbang melintasi angkasa dan berhasil membombardir markas-markas penting Belanda. Target mereka adalah pusat-pusat kekuatan Belanda di beberapa kota strategis, yaitu Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Aksi ini bukan sekadar serangan biasa; ini adalah pernyataan bahwa Republik Indonesia memiliki angkatan udara yang siap tempur, bahkan jika diisi oleh pemuda-pemuda yang baru belajar terbang dan menggunakan pesawat seadanya.
Misi ini memiliki dampak moral yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi, ini menunjukkan keberanian dan determinasi para pemuda dalam mempertahankan kedaulatan. Di sisi lain, aksi ini juga menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tidak menyerah begitu saja terhadap upaya Belanda untuk kembali menjajah. Film Kadet 1947 berhasil menangkap semangat juang para kadet ini, memperlihatkan ketegangan, rasa takut, namun juga keberanian dan persahabatan yang terjalin di antara mereka. Film ini tidak hanya menyajikan adegan aksi di udara, tetapi juga drama persahabatan dan perjuangan batin para kadet dalam menghadapi tugas yang maha berat itu. Mereka adalah pahlawan-pahlawan muda yang namanya mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh besar lainnya, tetapi jasa mereka dalam membangun dan mempertahankan Angkatan Udara Indonesia pertama kali patut dikenang dan diapresiasi. Film ini adalah penghormatan bagi keberanian generasi muda di awal kemerdekaan.
4. Bumi Manusia (2019)¶
Bumi Manusia adalah adaptasi layar lebar dari novel mahakarya sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Film ini mengambil latar masa penjajahan Belanda di Hindia Belanda pada awal abad ke-20, sebuah periode di mana struktur sosial sangat kaku dan diskriminasi rasial begitu kentara. Film ini dengan berani mengangkat isu-isu penting seperti ketidakadilan yang merajalela, perjuangan menemukan identitas diri di tengah tekanan budaya dan ras, serta perlawanan terhadap sistem kolonial yang opresif. Sutradara Fajar Bustomi menggarap film ini dengan visual yang memanjakan mata, berusaha menangkap detail suasana kolonial pada era tersebut.
Cerita utama dalam Bumi Manusia berfokus pada karakter Minke, diperankan oleh Iqbaal Ramadhan. Minke adalah seorang pemuda pribumi yang cerdas dan beruntung karena mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah ala Eropa, HBS (Hogere Burgerschool), sebuah hak istimewa yang jarang didapat oleh pribumi pada masa itu. Pendidikan ini membuka pikirannya, membuatnya sadar akan ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya, tetapi juga memberinya alat untuk melawan: tulisan. Minke adalah seorang penulis muda yang tajam, menggunakan pena sebagai senjatanya.
Kehidupan Minke berubah drastis ketika ia bertemu dan jatuh cinta pada Annelies Mellema, yang diperankan oleh Mawar Eva de Jongh. Annelies adalah seorang gadis keturunan Indo (campuran Eropa dan pribumi), putri dari seorang pria Belanda bernama Herman Mellema, dan ibunya adalah seorang perempuan pribumi bernama Nyai Ontosoroh (diperankan dengan sangat memukau oleh Sha Ine Febriyanti). Status Nyai Ontosoroh sendiri sangat kompleks dan tragis pada masa itu. Dia adalah perempuan pribumi yang “dibeli” atau dinikahi secara tidak sah (tanpa status hukum yang diakui pemerintah kolonial) oleh Herman Mellema. Meskipun statusnya dianggap rendah oleh masyarakat Eropa dan hukum kolonial, Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang luar biasa kuat, cerdas, dan berhasil mengelola bisnis Herman Mellema menjadi sangat sukses, meskipun dia sendiri tidak memiliki hak hukum atas kekayaan tersebut.
Konflik besar dalam film ini muncul ketika hubungan cinta antara Minke dan Annelies, yang berujung pada pernikahan, harus berhadapan langsung dengan sistem hukum kolonial Belanda yang rasis dan tidak adil. Hukum kolonial tidak mengakui pernikahan antara pribumi dan Eropa atau Indo yang ibunya tidak memiliki status hukum yang jelas seperti Nyai Ontosoroh. Bagi hukum Belanda, Annelies dianggap sebagai “anak luar kawin” dari Herman Mellema yang sah secara hukum, tetapi status Nyai Ontosoroh sebagai ibunya diabaikan. Setelah kematian Herman Mellema, keluarga sahnya dari Belanda datang dan menggugat hak asuh atas Annelies, dengan alasan bahwa Minke, sebagai pribumi, tidak layak menikah dengan Annelies dan bahwa Annelies harus kembali ke Eropa untuk hidup di lingkungan yang “layak” sesuai standar Eropa.
Di tengah tekanan sosial yang mencekik dan sistem hukum yang secara terang-terangan diskriminatif, Minke mulai menyadari bahwa ia tidak bisa hanya berdiam diri. Pengalaman pahit ini, di mana cintanya diperlakukan tidak adil oleh hukum kolonial hanya karena statusnya sebagai pribumi dan status Annelies yang rumit, mendorongnya untuk bangkit. Minke menyadari bahwa ia harus memperjuangkan hak-haknya, bukan hanya sebagai individu yang jatuh cinta, tetapi sebagai manusia yang berhak mendapatkan perlakuan yang setara di mata hukum dan masyarakat. Perjuangannya ini tidak hanya untuk dirinya dan Annelies, tetapi juga merepresentasikan perjuangan yang lebih besar dari kaum pribumi melawan penindasan kolonial. Film ini menggambarkan bagaimana Minke menggunakan kecerdasannya, kemampuannya menulis, dan keberaniannya untuk melawan arus, menuntut keadilan, dan mencoba mengubah pandangan masyarakat tentang harkat dan martabat manusia, terlepas dari ras atau status sosial. Kisah ini bukan hanya tentang romansa, tetapi juga tentang kesadaran sosial dan awal mula pergerakan nasional yang menuntut kesetaraan dan kemerdekaan.
5. Perburuan (2019)¶
Film Perburuan ini juga merupakan adaptasi dari novel terkenal karya Pramoedya Ananta Toer dengan judul yang sama. Film ini membawa penonton ke sebuah periode yang sangat krusial dan penuh ketegangan dalam sejarah Indonesia, yaitu pasca-proklamasi kemerdekaan, namun saat kekuatan militer Jepang masih ada dan mencari sisa-sisa kekuatan perlawanan Indonesia. Ceritanya berpusat pada sosok Hardo, yang diperankan oleh Adipati Dolken. Hardo adalah seorang mantan perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau yang lebih dikenal dengan PETA. PETA adalah pasukan yang dibentuk Jepang, namun banyak anggotanya yang kemudian berbalik melawan Jepang atau menjadi cikal bakal tentara Indonesia.
Kisah Hardo dimulai ketika laskar pribumi yang dia ikuti mengalami kekalahan telak dalam pertempuran melawan pasukan Jepang. Setelah kekalahan itu, Hardo terpaksa pulang kampung ke Blora, Jawa Tengah, untuk mencari perlindungan dan mungkin sedikit ketenangan setelah melewati masa-masa perang yang brutal. Namun, harapan akan ketenangan itu sirna begitu saja. Sesampainya di kampung halaman, Hardo justru mendapati dirinya menjadi buruan utama tentara Jepang. Pasukan Nippon tidak hanya kalah dalam perang melawan Sekutu, tetapi mereka juga masih berusaha membersihkan sisa-sisa perlawanan lokal yang bisa mengganggu stabilitas, dan mantan perwira PETA seperti Hardo adalah target prioritas mereka.
Luka fisik dan batin akibat perang yang baru saja dialaminya belum sempat pulih, Hardo sudah harus kembali berjuang untuk bertahan hidup, kali ini bukan di medan tempur formal, tetapi dalam perburuan yang tiada henti. Dia terpaksa bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari ladang, masuk ke hutan belantara, hingga meringkuk di kolong rumah kerabatnya. Sementara itu, pasukan Jepang dengan kejam menyisir desa demi desa, mencari jejak Hardo dan siapa saja yang terkait dengannya. Mereka menggunakan segala cara untuk menemukan dan menangkapnya, menciptakan suasana paranoia dan ketakutan di seluruh desa.
Di tengah pelariannya yang penuh kesendirian dan ketegangan, Hardo harus menelan pil pahit kenyataan yang lebih menyakitkan daripada luka fisik manapun. Dia perlahan-lahan menyadari bahwa jejak pelariannya tidak hanya diketahui oleh tentara Jepang yang memburunya. Lebih mengerikan lagi, jejaknya bocor, informasi tentang keberadaannya sampai ke tangan musuh, bukan karena kecerdikan pasukan Jepang semata, tetapi karena pengkhianatan. Pengkhianatan ini datang dari orang-orang yang seharusnya bisa dia percaya, orang-orang terdekatnya. Mulai dari kenalan lama di kampung yang memilih selamat dengan membocorkan informasinya, hingga kawan seperjuangan di PETA yang ternyata memilih jalan berkhianat, menjilat kekuasaan Jepang demi keamanan atau keuntungan pribadi.
Pengkhianatan ini menghantam Hardo dengan keras, membuatnya sulit memercayai siapapun. Dia bukan hanya bertarung melawan tentara Jepang di luar, tetapi juga melawan rasa sakit hati dan kekecewaan mendalam akibat tikaman dari belakang. Film Perburuan menggambarkan perjuangan Hardo yang tidak hanya fisik dalam menghindari tangkapan, tetapi juga perjuangan psikologis yang berat. Dia harus menghadapi paranoia, kesepian, dan pertanyaan mendasar tentang siapa yang bisa dipercaya di masa-masa sulit seperti itu. Film ini menekankan betapa brutalnya perang tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga menghancurkan kepercayaan antarmanusia dan memunculkan sisi tergelap dari sifat manusia ketika dihadapkan pada ancaman maut dan godaan keselamatan instan. Perburuan adalah potret kelam tentang perjuangan pahlawan yang justru diburu oleh nasib dan dikhianati oleh lingkungannya sendiri di tengah transisi kekuasaan yang kacau balau.
6. Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta (2018)¶
Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta adalah sebuah epik sejarah yang mengisahkan perjalanan hidup salah satu raja terbesar dalam sejarah Kesultanan Mataram, yaitu Raden Mas Rangsang, yang kelak dikenal sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo. Film ini membawa penonton kembali ke masa kejayaan Mataram, sekaligus masa-masa awal intrik dan perseteruan dengan kekuatan kolonial Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Kisah dimulai ketika Raden Mas Rangsang, yang diperankan dengan gagah oleh Ario Bayu, diangkat menjadi raja Mataram di usia yang relatif muda setelah ayahandanya, Sultan Anyakrawati, wafat.
Mengemban tahta di usia muda bukanlah perkara mudah. Sultan Agung muda harus segera membuktikan kepada para petinggi kerajaan, adipati-adipati bawahan, dan rakyatnya bahwa dia memang pantas dan mampu memimpin sebuah kerajaan besar seperti Mataram. Dia menghadapi tekanan dari dalam keraton sendiri, intrik-intrik politik di kalangan bangsawan, dan keraguan dari beberapa pihak yang mungkin meragukan kemampuannya. Di tengah urusan negara yang rumit, Sultan Agung juga menghadapi dilema personal yang menyangkut hati. Ada kisah cintanya dengan seorang perempuan bernama Lembayung (diperankan oleh Putri Marino), yang mungkin tidak sesuai dengan tradisi politik kerajaan. Namun, sebagai seorang raja, dia juga harus memenuhi tuntutan politik dan tradisi, yang membawanya pada pernikahan politik dengan Ratu Batang (diperankan oleh Anindya Putri). Konflik batin antara cinta pribadi dan tanggung jawab sebagai pemimpin menjadi salah satu warna dalam film ini.
Namun, tantangan terbesar bagi Sultan Agung tidak datang dari dalam kerajaannya sendiri, melainkan dari kekuatan asing yang semakin menancapkan kukunya di Nusantara: VOC. Perusahaan dagang Belanda ini, yang awalnya datang untuk berdagang, perlahan-lahan mulai menunjukkan ambisi politik dan militer. VOC menggunakan taktik adu domba (devide et impera) untuk memecah belah para adipati di bawah kekuasaan Mataram. Mereka memberikan keuntungan atau dukungan kepada adipati-adipati tertentu agar terpecah dari kesetiaan kepada Sultan Agung, tujuannya jelas, melemahkan kekuasaan pusat Mataram agar VOC bisa lebih mudah mengendalikan wilayah tersebut.
Sultan Agung awalnya berusaha menahan diri dan mencari jalan damai atau setidaknya koeksistensi yang menguntungkan bagi Mataram. Beliau bahkan pernah membuat perjanjian dengan VOC. Namun, VOC terbukti tidak bisa dipercaya. Mereka mengingkari perjanjian-perjanjian yang sudah dibuat, dan yang paling fatal, mereka mulai membangun kantor dagang sekaligus benteng pertahanan di Batavia (sekarang Jakarta), yang dianggap oleh Sultan Agung sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan Mataram dan jalur perdagangan penting. Melihat keserakahan dan pengkhianatan VOC, Sultan Agung menyadari bahwa jalan damai tidak akan menyelesaikan masalah. Dia memilih jalan perang.
Dengan tekad membara, Sultan Agung bangkit. Beliau mulai mengonsolidasikan kekuatan. Langkah pertama dan terpenting adalah menyatukan kembali para adipati dan wilayah-wilayah yang sempat tercerai-berai atau terpengaruh oleh intrik VOC. Beliau mengingatkan mereka akan pentingnya persatuan demi kedaulatan Mataram dan martabat bangsa. Setelah berhasil menggalang kekuatan dari berbagai penjuru, Sultan Agung melancarkan serangan besar-besaran ke benteng VOC di Batavia. Meskipun serangan ini membutuhkan persiapan logistik yang luar biasa dan menelan banyak korban, ini adalah wujud nyata perlawanan Mataram terhadap invasi VOC. Film ini menggambarkan epiknya persiapan dan pelaksanaan serangan ke Batavia, menunjukkan keteguhan Sultan Agung sebagai pemimpin militer dan penguasa yang gigih mempertahankan negerinya. Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta tidak hanya menampilkan kebesaran sosok Sultan Agung, tetapi juga kompleksitas politik dan dilema personal yang harus dihadapi seorang raja di masa-masa sulit.
7. Kartini (2017)¶
Film Kartini yang dirilis pada tahun 2017 ini adalah sebuah biopik yang sangat menyentuh dan menginspirasi, mengangkat kisah nyata kehidupan salah satu pahlawan nasional perempuan paling berpengaruh di Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Sosok Kartini yang legendaris ini diperankan dengan sangat apik oleh aktris papan atas Indonesia, Dian Sastrowardoyo. Film ini berusaha menggali lebih dalam tidak hanya perjuangan Kartini secara umum, tetapi juga dilema-dilema pribadi dan tantangan sosial yang harus ia hadapi di zamannya.
Kartini lahir dari keluarga bangsawan Jawa yang terpandang, yaitu dari ayahnya yang seorang Bupati Jepara. Sebagai seorang ningrat atau putri bangsawan, Kartini seharusnya memiliki privilese. Namun, ironisnya, justru status kebangsawanannya itu juga yang membuatnya terkungkung oleh adat istiadat Jawa yang sangat ketat, terutama terkait posisi perempuan. Sejak kecil, Kartini sudah merasakan adanya keterbatasan yang dikenakan pada perempuan bangsawan. Salah satu tradisi yang paling membelenggu adalah pingitan, di mana gadis-gadis bangsawan, setelah mencapai usia tertentu (sekitar 12 tahun), dilarang keluar rumah hingga tiba waktu pernikahan mereka. Selama dipingit, mereka hanya boleh beraktivitas di dalam lingkungan rumah, tidak diperbolehkan bersekolah lebih lanjut, dan suara mereka seolah tidak memiliki bobot di hadapan laki-laki atau tradisi yang sudah mengakar.
Meskipun terbatas secara fisik, pikiran Kartini tidak bisa dipingit. Dia memiliki rasa ingin tahu yang besar, terutama terhadap ilmu pengetahuan dan gagasan dari dunia Barat. Beruntung, keluarganya cukup terbuka untuk memberikan akses pada bacaan. Kartini gemar membaca buku, majalah, dan surat kabar yang didapatkannya. Selain itu, dia juga menjalin korespondensi atau surat menyurat dengan teman-teman penanya di Belanda, seperti Estelle “Stella” Zeehandelaar dan J.H. Abendanon, seorang pejabat Hindia Belanda yang kemudian mengumpulkan surat-suratnya. Melalui bacaan dan surat-menyurat inilah, wawasan Kartini terbuka luas. Dia mulai memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat maju dan progresif untuk zamannya, terutama mengenai pentingnya kesetaraan gender, hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan kebebasan berpikir di luar batasan adat.
Film Kartini tidak hanya menampilkan sosok Kartini sebagai ikon perjuangan wanita yang ideal, tetapi juga menggambarkan sisi manusiawinya. Penonton diajak melihat dilema batin yang dialami Kartini, di mana ia harus menyeimbangkan antara ketaatannya pada orang tua dan tradisi dengan keyakinan dan cita-citanya yang bertentangan. Film ini juga memperlihatkan konflik-konflik keluarga yang muncul akibat pemikiran Kartini yang dianggap terlalu ‘barat’ dan revolusioner oleh sebagian kerabatnya. Tekanan budaya yang kuat untuk segera menikah, mengikuti tradisi, dan melupakan cita-citanya menjadi rintangan besar yang harus dihadapi Kartini setiap hari.
Melalui film ini, kita bisa melihat bagaimana Kartini dengan gigih memperjuangkan mimpinya untuk mendirikan sekolah bagi perempuan, meskipun harus menghadapi berbagai penolakan dan kesulitan. Dia percaya bahwa pendidikan adalah kunci bagi perempuan untuk bisa mandiri, berdaya, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Film ini juga menyoroti peran saudara-saudara perempuan Kartini, Roekmini dan Kardinah, yang ikut mendukung dan berjuang bersamanya. Film Kartini adalah pengingat tentang pentingnya keberanian untuk bersuara dan berjuang demi keyakinan, bahkan ketika arus tradisi dan masyarakat menentang. Ini adalah potret perjuangan seorang perempuan yang mewakili jutaan perempuan lainnya pada masanya, yang mendambakan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Kisah Kartini tetap relevan hingga kini, menginspirasi banyak perempuan untuk tidak takut bermimpi dan meraih pendidikan setinggi-tingginya.
Itu dia tujuh rekomendasi film Indonesia bertemakan zaman dulu yang wajib banget kamu tonton. Dari sejarah yang kelam dan penuh intrik, kisah cinta yang harus melawan arus, hingga perjuangan para pahlawan muda dan perempuan luar biasa. Film-film ini nggak cuma menghibur, tapi juga kaya akan nilai sejarah dan pelajaran hidup yang bisa kita ambil. Cocok banget buat mengisi waktu luang sambil menambah wawasan tentang masa lalu bangsa kita.
Setelah baca daftar film ini, kira-kira film mana nih yang paling bikin kamu penasaran buat nonton? Atau mungkin kamu punya rekomendasi film jadul lainnya yang nggak kalah seru? Yuk, share pendapat dan rekomendasi kamu di kolom komentar di bawah!
Posting Komentar