Wajah Jokowi Muncul Bercak Hitam, Diduga Hiperkortisolisme? Ini Kata Dokter!
Belakangan ini, publik ramai menyoroti kondisi wajah dan leher mantan Presiden Joko Widodo yang terlihat ada bercak hitam. Penampilan beliau yang tampak berubah ini langsung memicu perbincangan di mana-mana. Salah satu yang ikut berkomentar adalah Dokter Tifa, yang menduga kondisi tersebut bisa jadi gejala medis tertentu.
Dokter Tifa menyampaikan pandangannya terkait perubahan pada wajah dan leher Jokowi. Ia menduga kemungkinan adanya gejala hiperkortisolisme atau kondisi autoimun. Menurutnya, kondisi ini perlu mendapat perhatian medis yang tepat.
Perubahan ini mulai terlihat jelas dalam sebuah video yang menampilkan tanggapan Jokowi mengenai isu ijazah palsu. Dalam video tersebut, tampak bercak atau flek hitam di area wajah dan leher beliau. Selain itu, kondisi rambut dan beberapa bagian kepala Jokowi juga tampak menipis, terutama di beberapa area.
Cuplikan video ini kemudian menyebar cepat di berbagai platform media sosial. Tentu saja, hal ini langsung memancing beragam reaksi dari masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya dan mendiskusikan kondisi tersebut.
Salah satu yang paling vokal menyoroti adalah akun X milik Dokter Tifa. Beliau memang dikenal sering mengomentari isu-isu terkait Jokowi, termasuk soal ijazah. Melihat perubahan pada penampilan Jokowi, Dokter Tifa pun ikut bersuara.
Dokter Tifa menulis di akun X-nya, “Pak Jokowi kok seperti kena Autoimun? Wajah dan leher tiba-tiba penuh melasma atau bercak-bercak hitam.” Ia juga menambahkan soal kondisi rambut Jokowi yang tampak menipis secara mendadak. “Dan tiba-tiba juga alopecia berat, rambut rontok mendadak di dahi, ubun-ubun, belakang kepala,” lanjutnya.
Ia kemudian melempar pertanyaan, apakah kondisi tersebut adalah gejala autoimun atau justru hiperkortisolisme, yang juga dikenal dengan Sindrom Cushing. “Autoimun atau Hiperkortisolisme?” tanyanya. Dokter Tifa juga menambahkan komentar lain yang bersifat provokatif, mengaitkan kondisi tersebut dengan beban mental. “Dokter pribadi perlu meresepkan anti-depresan, deh. Kasihan, beban berbohong 10 tahun, ngga kebayang rasanya,” tulisnya dalam unggahan yang viral ditonton ratusan ribu kali.
Unggahan Dokter Tifa ini tentu saja memicu berbagai respons dari warganet. Ada yang skeptis dan mempertanyakan motif di balik komentar tersebut. Ada juga yang mencoba melihat dari sudut pandang lain yang lebih netral.
“O iya, kita semua termasuk anda kalau sudah tua akan mengalami apa yang anda sampaikan,” komentar akun Chadell, mencoba menyikapi dengan lebih bijak. Reaksi lain datang dari akun @ottttoedy yang mengaitkan kondisi tersebut dengan hal mistis. “Ilmu kanuragan sudah luntur… tidak ada yang bisa ditumbalkan karena sudah tidak berkuasa,” tulisnya, seraya menyindir berbagai peristiwa yang terjadi selama Jokowi menjabat.
Tak sedikit pula yang menunjukkan empati terhadap kondisi kesehatan Jokowi. Seperti akun @oconboy yang menulis, “Beliau sudah berusaha untuk berobat tapi penyakit tersebut belum ada obatnya Bu Dokter. Mungkin Bu Dokter ada solusi?” menunjukkan kepedulian terhadap kemungkinan penyakit yang diderita.
Hingga artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi maupun tim dokter kepresidenan terkait kondisi kesehatan beliau. Perubahan pada wajah dan rambut tersebut masih menjadi perbincangan hangat di media sosial dan belum ada konfirmasi medis. Namun, dugaan yang dilontarkan Dokter Tifa mengarah pada kondisi medis serius seperti Autoimun atau Hiperkortisolisme.
Lalu, sebenarnya apa itu Hiperkortisolisme dan Penyakit Autoimun yang disebut-sebut? Mari kita bahas lebih lanjut agar lebih paham.
Hiperkortisolisme atau Sindrom Cushing¶
Melansir dari sumber informasi kesehatan seperti Hello Sehat, hiperkortisolisme dikenal juga dengan nama Sindrom Cushing. Kondisi ini merupakan sekumpulan gejala yang muncul akibat peningkatan kadar hormon kortisol secara berlebihan dalam tubuh. Kortisol adalah hormon penting yang diproduksi oleh kelenjar adrenal, letaknya ada di atas ginjal.
Hormon kortisol punya banyak peran penting dalam tubuh kita. Fungsinya antara lain membantu mengatur kadar gula darah, mengendalikan respons peradangan, mengatur tekanan darah, dan membantu tubuh merespons stres. Namun, jika kadarnya terlalu tinggi dalam jangka waktu lama, bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Tingginya kadar kortisol dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis. Ini termasuk peningkatan tekanan darah tinggi, pengeroposan tulang atau osteoporosis, hingga penyakit gula atau diabetes tipe 2. Jadi, keseimbangan hormon kortisol sangat penting untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Kabar baiknya, hiperkortisolisme umumnya bisa disembuhkan. Penanganan bisa dilakukan melalui pengobatan medis atau perubahan gaya hidup yang lebih sehat. Proses pemulihan setelah pengobatan biasanya memerlukan waktu yang bervariasi, bisa antara 2 bulan hingga 18 bulan, tergantung tingkat keparahan dan respons tubuh.
Gejala Sindrom Cushing bisa berbeda-beda pada setiap orang. Tingkat keparahan gejalanya pun sangat bervariasi. Namun, ada beberapa tanda dan gejala utama yang seringkali dialami oleh penderita Sindrom Cushing, yang membuatnya cukup khas.
Beberapa gejala utama tersebut meliputi peningkatan berat badan, terutama di bagian tengah tubuh (perut, dada, punggung atas). Meskipun berat badan naik, seringkali lengan atau tungkai justru terlihat kurus. Wajah penderita juga seringkali terlihat membulat seperti bulan purnama (moon face).
Selain itu, penumpukan lemak bisa terjadi di sekitar pangkal leher, menciptakan tampilan leher yang lebih pendek dan lebar. Munculnya punuk berlemak di antara bahu, yang dikenal sebagai buffalo hump, juga merupakan gejala khas. Kulit menjadi lebih tipis dan mudah mengalami memar hanya karena benturan ringan.
Munculnya guratan atau stretch mark berwarna ungu atau kemerahan di area perut, payudara, pinggul, paha, dan lengan bawah juga sering terlihat. Otot tubuh, terutama otot-otot besar di paha dan bahu, menjadi lemah, membuat penderitanya sulit melakukan aktivitas fisik.
Pada anak-anak, kondisi ini biasanya ditandai dengan obesitas dan laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan teman-teman seusianya. Sementara itu, wanita yang menderita Sindrom Cushing mungkin mengalami pertumbuhan rambut berlebih di wajah, leher, dada, perut, dan paha (hirsutism). Siklus menstruasi juga bisa menjadi tidak teratur atau bahkan berhenti sama sekali.
Bagi pria, Sindrom Cushing dapat menyebabkan penurunan kesuburan dan gairah seksual. Disfungsi ereksi atau kesulitan mencapai ereksi juga bisa menjadi gejala. Gejala-gejala ini tentu sangat mengganggu kualitas hidup penderitanya.
Penyebab hiperkortisolisme bisa beragam. Paling sering disebabkan oleh penggunaan obat kortikosteroid dalam dosis tinggi dalam jangka waktu lama, yang biasa digunakan untuk mengatasi peradangan pada penyakit seperti asma atau radang sendi. Penyebab lain bisa karena tumor pada kelenjar hipofisis (mengatur produksi kortisol) atau kelenjar adrenal (memproduksi kortisol), atau tumor di bagian tubuh lain yang memproduksi hormon mirip ACTH (pemicu kortisol).
Diagnosis Sindrom Cushing biasanya melibatkan serangkaian tes darah dan urine untuk mengukur kadar kortisol. Tes pencitraan seperti CT scan atau MRI juga mungkin diperlukan untuk mencari keberadaan tumor. Pengobatan akan disesuaikan dengan penyebabnya, bisa berupa pengurangan dosis steroid, operasi pengangkatan tumor, radiasi, atau penggunaan obat-obatan yang menghambat produksi kortisol.
Meskipun gejala seperti bercak hitam dan rambut rontok disebutkan dalam konteks diskusi soal Jokowi, gejala khas Sindrom Cushing lebih menonjol pada perubahan bentuk tubuh, kulit, dan kekuatan otot. Bercak hitam di wajah bisa jadi melasma, yang penyebabnya bisa hormonal (termasuk kortisol tinggi) atau paparan sinar matahari. Rambut rontok juga bisa disebabkan banyak faktor, termasuk stres atau autoimun, yang akan dibahas selanjutnya.
Penyakit Autoimun¶
Selain hiperkortisolisme, kemungkinan lain yang disebut Dokter Tifa adalah penyakit autoimun. Melansir dari laman Alodokter, penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang secara keliru menyerang sel-sel sehat dalam tubuhnya sendiri. Padahal, seharusnya sistem kekebalan tubuh berfungsi melindungi kita dari serangan organisme asing seperti bakteri, virus, atau jamur.
Normalnya, saat ada agen asing masuk ke tubuh, sistem kekebalan akan mengenali dan melepaskan protein yang disebut antibodi untuk melawan dan menghancurkannya. Proses ini menjaga tubuh kita tetap sehat dan mencegah penyakit. Namun, pada orang dengan penyakit autoimun, ada “kesalahan” dalam sistem pengenalan sel.
Sistem kekebalan tubuh penderita autoimun menganggap sel atau jaringan tubuh yang sehat sebagai ancaman asing. Akibatnya, antibodi yang seharusnya menyerang kuman justru menyerang sel-sel sehat tersebut. Serangan ini bisa terjadi di satu organ spesifik atau menyerang banyak organ di seluruh tubuh, tergantung jenis penyakit autoimunnya.
Ada lebih dari 80 jenis penyakit yang masuk dalam kategori autoimun. Beberapa penyakit autoimun bahkan memiliki gejala awal yang mirip satu sama lain, sehingga kadang sulit dibedakan pada awalnya. Gejala awal yang umum ini seringkali tidak spesifik, seperti kelelahan, nyeri otot, dan demam.
Penyebab pasti penyakit autoimun hingga kini belum diketahui secara menyeluruh. Namun, ada beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit ini. Faktor genetik atau riwayat penyakit autoimun dalam keluarga menjadi salah satu risiko terbesar. Seseorang dengan anggota keluarga penderita autoimun lebih rentan mengalaminya.
Infeksi bakteri atau virus tertentu juga diduga bisa memicu timbulnya penyakit autoimun pada orang yang memiliki kecenderungan genetik. Contohnya infeksi virus Epstein Barr. Paparan bahan kimia berbahaya seperti asbes, merkuri, dioksin, atau pestisida juga disebut-sebut bisa berkontribusi.
Faktor gaya hidup seperti merokok dan memiliki berat badan berlebih atau obesitas juga diketahui dapat meningkatkan risiko terkena beberapa jenis penyakit autoimun. Stres berat dan kurang tidur kronis juga diduga berperan dalam memicu atau memperparah kondisi autoimun.
Gejala awal penyakit autoimun, seperti yang disebutkan sebelumnya, seringkali samar. Sering merasa lemas atau kelelahan yang tidak kunjung hilang meskipun sudah istirahat adalah gejala yang sangat umum. Nyeri otot atau nyeri sendi yang berpindah-pindah atau menetap juga sering dialami.
Munculnya ruam kulit yang tidak jelas penyebabnya, demam ringan yang hilang timbul tanpa sebab pasti, serta bengkak di sendi atau wajah juga bisa menjadi tanda awal. Beberapa penderita juga mengalami rambut rontok, kesulitan berkonsentrasi atau brain fog, serta sensasi kesemutan atau mati rasa di tangan atau kaki.
Meskipun gejala awal bisa mirip, setiap jenis penyakit autoimun memiliki gejala spesifik yang membedakannya. Contohnya, diabetes tipe 1 adalah penyakit autoimun di mana sistem kekebalan menyerang sel-sel penghasil insulin di pankreas. Gejalanya khas berupa sering merasa haus, lemas, dan penurunan berat badan drastis.
Berikut adalah beberapa contoh penyakit autoimun lainnya beserta gejalanya:
* Lupus (Systemic Lupus Erythematosus - SLE): Bisa menyerang hampir semua organ tubuh. Gejalanya sangat bervariasi, mulai dari demam, nyeri sendi dan otot, ruam kulit (terutama ruam kupu-kupu di wajah), kulit sensitif terhadap matahari, sariawan berulang, bengkak di tungkai, sakit kepala, kejang, nyeri dada saat menarik napas dalam, sesak napas, pucat, hingga perdarahan.
* Penyakit Graves: Menyerang kelenjar tiroid dan menyebabkan produksi hormon tiroid berlebih (hipertiroidisme). Gejalanya meliputi penurunan berat badan drastis meskipun nafsu makan normal, mata menonjol (exophthalmos), rambut rontok, jantung berdebar cepat atau tidak teratur, gelisah, tremor tangan, dan insomnia.
* Psoriasis: Penyakit autoimun yang menyerang kulit. Ditandai dengan munculnya bercak merah tebal yang ditutupi sisik keperakan. Bercak ini paling sering muncul di siku, lutut, kulit kepala, dan punggung bawah, tetapi bisa muncul di mana saja.
* Multiple Sclerosis (MS): Menyerang sel saraf di otak dan sumsum tulang belakang. Gejalanya bervariasi tergantung saraf mana yang diserang, bisa berupa mati rasa atau kesemutan di salah satu bagian tubuh, gangguan penglihatan (penglihatan ganda, kabur, atau hilang sebagian), otot kaku dan lemas, gangguan keseimbangan dan koordinasi, serta kelelahan berat.
* Myasthenia Gravis: Menyerang sambungan antara saraf dan otot, menyebabkan kelemahan otot. Gejalanya khas adalah kelopak mata terkulai (ptosis), pandangan ganda atau kabur, kelemahan otot yang memburuk setelah beraktivitas dan membaik setelah istirahat, serta kesulitan berbicara, mengunyah, menelan, atau bernapas pada kasus yang berat.
* Tiroiditis Hashimoto: Menyerang kelenjar tiroid dan menyebabkan produksi hormon tiroid menurun (hipotiroidisme). Gejalanya bisa berupa peningkatan berat badan secara tiba-tiba, sensitif terhadap udara dingin, mati rasa atau kesemutan di tangan dan kaki, lemas, mudah mengantuk, rambut rontok, menstruasi tidak teratur atau berat, sulit berkonsentrasi, dan depresi.
* Kolitis Ulseratif dan Crohn’s Disease: Keduanya adalah penyakit radang usus yang autoimun. Kolitis ulseratif menyerang lapisan usus besar, sedangkan Crohn’s disease bisa menyerang bagian mana pun dari saluran pencernaan. Gejalanya meliputi sakit perut dan kram, diare hebat (seringkali berdarah), demam, penurunan berat badan, dan kelelahan.
* Rheumatoid Arthritis (RA): Menyerang sendi, menyebabkan peradangan kronis. Gejalanya berupa nyeri, bengkak, kaku, dan kemerahan pada sendi, terutama sendi-sendi kecil di jari tangan dan kaki, seringkali simetris (terjadi di kedua sisi tubuh). Kekakuan sendi biasanya paling parah di pagi hari.
* Sindrom Guillain-Barré (GBS): Kondisi langka di mana sistem kekebalan menyerang saraf tepi. Biasanya dipicu oleh infeksi. Gejalanya dimulai dengan kelemahan dan kesemutan di kaki yang menjalar ke atas, bisa menyebabkan kelemahan otot yang parah, gangguan keseimbangan, bahkan kelumpuhan yang membutuhkan perawatan intensif.
* Vaskulitis: Peradangan pada pembuluh darah yang disebabkan serangan autoimun. Gejalanya bervariasi tergantung pembuluh darah mana yang terkena, namun gejala umum bisa meliputi demam, penurunan berat badan, kelelahan, tidak nafsu makan, nyeri otot/sendi, dan ruam kulit yang bisa terlihat seperti bintik merah atau ungu.
* Myositis: Sekelompok penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan otot. Gejalanya meliputi nyeri otot, kelemahan otot progresif di seluruh tubuh, terutama di bahu dan paha. Kelemahan ini bisa menyulitkan aktivitas sehari-hari seperti bangun dari duduk, naik tangga, atau mengangkat benda. Salah satu tipenya, dermatomiositis, juga menimbulkan ruam merah keunguan di kulit.
Melihat berbagai jenis dan gejala penyakit autoimun, bisa dipahami mengapa kondisi ini seringkali sulit didiagnosis dan ditangani. Sistem kekebalan yang menyerang tubuh sendiri memang kompleks dan memerlukan penanganan spesialis.
Alopecia (Rambut Rontok)¶
Dalam konteks pembahasan kondisi Jokowi, selain bercak hitam, rambut rontok juga menjadi perhatian. TribunBengkulu.com melansir dari Halodoc, alopecia adalah istilah medis umum untuk kerontokan rambut. Ada banyak penyebab rambut rontok, mulai dari faktor genetik, hormonal, nutrisi, stres, hingga kondisi medis tertentu.
Salah satu jenis alopecia yang menarik perhatian dalam konteks ini adalah alopecia areata. Ini adalah penyakit yang digolongkan sebagai penyakit autoimun. Pada kondisi ini, sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang folikel rambut. Folikel rambut adalah struktur kecil di kulit tempat rambut tumbuh.
Ketika sistem kekebalan menyerang folikel rambut, folikel tersebut menjadi lebih kecil dan produksi rambut melambat atau berhenti sama sekali. Hal ini awalnya menyebabkan rambut rontok, dan jika dibiarkan atau kondisinya parah, bisa mengakibatkan kebotakan.
Ada beberapa jenis alopecia areata, dibedakan berdasarkan pola dan luas area kerontokan rambutnya:
* Patchy alopecia areata: Ini adalah jenis yang paling umum. Ciri utamanya adalah muncul area atau bercak kerontokan rambut yang berbentuk bulat atau oval, biasanya hanya di beberapa area kulit kepala atau bagian tubuh lain yang berambut (alis, jenggot, dll.).
* Alopecia totalis: Kondisi ini terjadi ketika seluruh rambut di kulit kepala rontok, menyebabkan kebotakan total pada area kepala.
* Alopecia universalis: Ini adalah bentuk yang paling parah. Kerontokan rambut tidak hanya terjadi di kulit kepala, tetapi juga di seluruh tubuh, termasuk alis, bulu mata, rambut ketiak, rambut kemaluan, dan rambut di lengan/kaki.
* Diffuse alopecia areata: Pada jenis ini, rambut menipis secara tiba-tiba di seluruh kulit kepala, bukan hanya di satu atau beberapa area berbentuk patch. Kerontokan lebih merata, menyerupai penipisan rambut biasa tapi terjadi dengan cepat.
* Ophiasis alopecia: Ini adalah pola kerontokan yang spesifik, terjadi di sepanjang tepi kulit kepala bagian bawah dan samping, seringkali membentuk pola seperti ular (ophiasis).
Gejala utama alopecia areata tentu saja adalah kerontokan rambut. Kerontokan ini seringkali terjadi dalam pola bercak bulat, bisa satu atau lebih. Bercak ini biasanya halus dan tidak ada tanda peradangan. Kerontokan bisa bersifat sementara, di mana rambut bisa tumbuh kembali, atau bisa menjadi permanen. Pada kasus yang lebih parah, kerontokan bisa meluas hingga seluruh kulit kepala (alopecia totalis) atau seluruh tubuh (alopecia universalis).
Selain rambut rontok, alopecia areata terkadang juga memengaruhi kuku jari tangan dan kaki. Perubahan pada kuku bisa berupa bintik-bintik kecil, garis-garis putih, permukaan kuku yang menipis dan kasar, atau kuku menjadi rapuh dan mudah terbelah. Beberapa penderita juga melaporkan sensasi gatal atau terbakar pada kulit kepala sesaat sebelum rambut rontok.
Penyebab utama alopecia areata adalah, seperti yang sudah disebut, penyakit autoimun. Sistem kekebalan tubuh “menyerang” folikel rambut. Mengapa sistem kekebalan melakukan ini pada orang tertentu belum sepenuhnya dipahami. Namun, faktor genetik diduga kuat berperan penting. Seseorang dengan riwayat keluarga alopecia areata atau penyakit autoimun lainnya memiliki risiko lebih tinggi.
Selain faktor genetik, alopecia areata juga bisa dipicu atau berhubungan dengan keberadaan gangguan autoimun lain pada tubuh seseorang. Stres fisik atau emosional yang parah juga dilaporkan dapat menjadi pemicu pada beberapa kasus, meskipun peran pastinya masih diteliti.
Tingkat kerontokan rambut akibat alopecia areata sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain. Beberapa orang hanya mengalami beberapa bercak kecil yang bisa tumbuh kembali dengan atau tanpa pengobatan. Namun, pada kasus yang lebih parah, kerontokan bisa luas dan sulit diatasi.
Baik hiperkortisolisme maupun penyakit autoimun, termasuk alopecia areata, adalah kondisi medis yang memerlukan diagnosis dan penanganan oleh profesional kesehatan. Perubahan fisik seperti bercak hitam di kulit atau rambut rontok bisa menjadi gejala dari banyak kondisi, tidak hanya kedua penyakit yang disebutkan.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi maupun tim medis yang merawat beliau mengenai kondisi kesehatan yang spesifik. Jadi, dugaan yang beredar di masyarakat, termasuk dari Dokter Tifa, masih sebatas spekulasi berdasarkan pengamatan visual.
Jadi, bagaimana pendapat Anda melihat diskusi seputar kondisi kesehatan mantan Presiden ini? Apakah Anda pernah mengalami gejala serupa atau punya pengalaman terkait hiperkortisolisme atau autoimun? Yuk, share pandangan atau pengalaman Anda di kolom komentar! Ingat, diskusi yang sehat dan berdasarkan informasi yang terpercaya ya.
Posting Komentar