HRW Soroti Diskriminasi Rasial Orang Papua di Era Jokowi: Makin Parah?
Laporan terbaru dari organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), mengungkapkan keprihatinan serius. Menurut laporan mereka, praktik diskriminasi dan penangkapan yang dialami oleh orang asli Papua selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terlihat “sangat kelihatan dan jumlah lebih banyak”. HRW membandingkan situasi ini dengan era presiden-presiden sebelumnya di Indonesia.
Andreas Harsono, seorang peneliti dari Human Rights Watch, menjelaskan bahwa pola ini terlihat jelas dalam insiden penangkapan massal. Ia mencontohkan penahanan setidaknya 400 orang terkait demonstrasi yang berujung rusuh di Jayapura pada akhir Agustus 2019. Aksi protes besar-besaran ini dipicu oleh peristiwa penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Menurut Andreas, tindakan diskriminasi dan penangkapan semacam ini tak bisa dipisahkan dari persoalan rasisme yang, dalam pandangannya, dilanggengkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah Joko Widodo terhadap Papua. Isu rasisme ini dianggap menjadi akar masalah yang memicu berbagai pelanggaran hak asasi manusia di sana.
Melihat situasi ini, HRW memberikan catatan penting untuk presiden terpilih, Prabowo Subianto, bersama pasangannya Gibran Rakabuming. Mereka menyarankan agar kepemimpinan baru benar-benar memperhatikan dan menangani masalah diskriminasi rasial ini secara serius. Ini dianggap krusial untuk menciptakan keadilan dan kedamaian di Papua.
Langkah awal yang direkomendasikan HRW untuk Prabowo-Gibran cukup konkret. Salah satu saran utamanya adalah membebaskan semua tahanan politik Papua yang dianggap ditahan atas dasar motivasi politik. Selain itu, mereka juga menyerukan pemberian kompensasi yang layak atas kerugian yang dialami oleh para korban penangkapan dan diskriminasi tersebut.
Hingga artikel ini diterbitkan, pihak dari Presiden Jokowi maupun tim Prabowo Subianto belum memberikan tanggapan resmi terkait pertanyaan yang diajukan oleh BBC News Indonesia mengenai laporan HRW ini. Sebelumnya, Presiden Jokowi sering kali menyampaikan bahwa dirinya adalah presiden yang paling sering mengunjungi Papua. Ia juga menekankan bahwa Papua mendapat perhatian yang sangat tinggi dan prioritas pembangunan selama masa kepemimpinannya.
Apa Isi Laporan Human Rights Watch?¶
Laporan HRW yang cukup tebal, mencapai 86 halaman, mendokumentasikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di Papua. Menurut Andreas Harsono, semua kasus ini berakar kuat pada diskriminasi rasial yang sistemik. Laporan ini menyajikan gambaran komprehensif mengenai tantangan yang dihadapi orang asli Papua dalam berbagai aspek kehidupan.
Salah satu isu yang disorot adalah terbatasnya akses pendidikan yang memadai bagi anak-anak Papua. Laporan menyebutkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam merekrut guru-guru yang bersedia dan bertahan untuk mengajar di daerah terpencil Papua. Akibatnya, banyak anak-anak di sana tidak mendapatkan kesempatan pendidikan yang setara.
Selain itu, laporan ini juga menyoroti tingginya angka kematian ibu dan bayi di Papua, yang menunjukkan masih adanya masalah serius dalam akses dan kualitas layanan kesehatan. Kesulitan lain yang dihadapi orang Papua adalah saat mereka menempuh pendidikan di luar tanah kelahirannya. Banyak mahasiswa Papua dihadapkan pada kesulitan mencari tempat tinggal dan sering kali menjadi sasaran prasangka.
Laporan HRW juga mencatat serangkaian tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang Papua. Kekerasan ini, menurut Andreas, seringkali terkait dengan isu-isu fundamental seperti kepemilikan tanah dan pengelolaan sumber daya alam di Papua. Ini menunjukkan bahwa konflik di Papua bukan hanya soal politik, tetapi juga sangat erat kaitannya dengan isu identitas dan hak atas tanah.
“Dan semua itu tak lepas dari soal rasialisme terkait tanah, hutan, dan lain-lain,” ujar Andreas kepada BBC News Indonesia. Ia menambahkan, “Hampir 99% lebih penangkapan orang Papua berkaitan dengan rasialisme.” Pernyataan ini menggarisbawahi betapa sentralnya isu rasisme dalam kasus-kasus penangkapan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Dalam laporan yang sama, diuraikan bahwa akar sejarah rasisme di Papua tidak bisa dipisahkan dari proses integrasi wilayah tersebut ke dalam Indonesia pada tahun 1969. Proses tersebut, yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), hingga kini masih dianggap tidak sah oleh sejumlah aktivis Papua dan organisasi internasional. Kritikan utama adalah Pepera tidak menjalankan prinsip dasar “satu orang, satu suara”.
Selama enam dekade terakhir, sejak Papua resmi bergabung dengan Indonesia, suara-suara yang menuntut referendum atau hak penentuan nasib sendiri terus bergaung. Tuntutan ini, yang didasarkan pada penolakan terhadap proses integrasi 1969, telah memicu banyak aksi protes dan demonstrasi di Papua dan kota-kota lain di Indonesia yang memiliki komunitas Papua.
Salah satu insiden besar yang dianggap HRW dipicu langsung oleh tindakan rasial adalah pengepungan dan penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019. Kejadian ini menjadi titik didih yang memicu gelombang protes besar-besaran di seluruh Papua dan beberapa kota di Indonesia. Pemicunya adalah tuduhan perusakan tiang bendera di depan asrama tersebut.
Aparat menuding mahasiswa Papua yang tinggal di asrama sebagai pelakunya. Namun, perwakilan mahasiswa Papua dengan tegas membantah tuduhan itu, menyatakan bahwa mereka tidak tahu menahu mengenai tiang bendera yang jatuh ke dalam selokan tersebut. Penyangkalan ini tidak lantas meredakan situasi yang sudah tegang.
Tak lama setelah tuduhan itu, sekelompok massa yang dilaporkan terdiri dari orang-orang berseragam militer, Satpol PP, dan polisi mendatangi dan menyerbu asrama. Bersamaan dengan serbuan itu, sejumlah kata-kata rasial yang merendahkan, sering kali berupa nama-nama binatang, diteriakkan ke arah mahasiswa Papua di dalam asrama. Ujaran kebencian ini memperparah situasi dan menyulut kemarahan.
Esok harinya, polisi yang masih mengepung bangunan asrama menembakkan gas air mata ke arah dalam. Kemudian, aparat mendobrak gerbang asrama dengan menggunakan senjata laras panjang, menunjukkan tingkat kekuatan yang digunakan. Sebanyak 43 mahasiswa Papua kemudian digiring ke dalam truk dan dibawa ke markas Polda Jawa Timur untuk diperiksa dan ditahan.
Insiden pengepungan dan penyerangan di Surabaya, dengan video-video yang beredar luas di media sosial, memicu gelombang kemarahan. Ini membangkitkan gerakan solidaritas yang kemudian dikenal dengan tagar #PapuanLivesMatter, terinspirasi dari gerakan serupa di Amerika Serikat yang menyoroti kebrutalan polisi terhadap warga kulit hitam. Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap diskriminasi rasial yang dialami orang Papua.
“Serangan itu memicu kembali diskusi tentang diskriminasi rasial anti-Papua,” sebut laporan HRW. Mahasiswa Papua di berbagai wilayah, baik di Papua maupun di luar Papua, ikut serta dalam gelombang protes yang pecah di beberapa kota sebagai bentuk solidaritas dan penolakan terhadap rasisme. Insiden Surabaya menjadi katalisator bagi ekspresi kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama terpendam.
Salah satu mahasiswa Papua yang ikut serta dalam aksi unjuk rasa besar di Jayapura yang merupakan buntut dari insiden Surabaya adalah Alfa Hisage. Aksi protes ini, seperti yang dicatat HRW, berakhir dengan kerusuhan. Alfa Hisage kemudian termasuk di antara ratusan orang yang ditahan oleh aparat dan dikenakan pasal 160 KUHP tentang penghasutan, sebuah pasal yang sering digunakan terhadap aktivis politik di Indonesia.
Alfa Hisage: Kepala Saya Dipukuli seperti Bola¶
Alfa Hisage berbagi pengalamannya yang kelam ketika video-video dan berita tentang pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya menjadi viral di media sosial. Ia mengatakan bahwa ia dan mahasiswa Papua lainnya merasakan kemarahan yang luar biasa melihat perlakuan diskriminatif tersebut. Perasaan sebagai sesama manusia yang dihinakan begitu mendalam baginya.
“Kami juga manusia, punya perasaan,” ujar Alfa Hisage kepada BBC News Indonesia, menggambarkan dampak psikologis dari ujaran kebencian dan rasisme. Ia menambahkan, “Kalau disamakan dengan monyet, sama saja kami tidak punya harkat dan martabat.” Pernyataan ini mencerminkan luka mendalam yang disebabkan oleh perlakuan rasial yang merendahkan martabat orang Papua.
Beberapa hari setelah insiden memalukan di Surabaya, Alfa Hisage bersama sejumlah mahasiswa lainnya merencanakan aksi unjuk rasa damai di Jayapura. Tujuan utama dari aksi ini adalah menuntut negara untuk segera menindak para pelaku rasisme dan ujaran kebencian yang telah melukai hati masyarakat Papua. Mereka ingin melihat adanya keadilan dan pertanggungjawaban hukum.
Rencana awalnya, demonstrasi akan dimulai pada 29 Agustus dari Setani, Abepura, menuju Wamena, dan berakhir di kantor gubernur di Jayapura. Alfa bercerita, mulanya izin untuk menggelar aksi tersebut cukup sulit didapatkan. Namun, setelah melalui proses negosiasi ulang dengan pihak berwenang, akhirnya mereka diizinkan untuk melangsungkan aksi protes tersebut.
Namun, unjuk rasa yang semula direncanakan damai tersebut rupanya diikuti secara spontan oleh banyak warga Papua yang juga merasakan kemarahan dan kekecewaan. Massa yang bergabung secara tiba-tiba ini, klaim Alfa, mulai meluapkan kemarahan mereka dengan melempari toko-toko dan kendaraan yang ada di sepanjang rute demonstrasi. Situasi dengan cepat berubah menjadi tidak terkendali.
Belakangan, demonstrasi ini memang berakhir menjadi kerusuhan yang cukup besar. Kantor-kantor pemerintah daerah dilaporkan dibakar, bangunan sekolah dan bank dirusak, bahkan kantor kejaksaan pun menjadi sasaran amukan massa. Kerusuhan ini menunjukkan betapa besarnya kemarahan yang terpendam di masyarakat Papua akibat akumulasi masalah, termasuk isu rasisme.
“Kami sudah berusaha mengendalikan [massa], tapi tidak memungkinkan,” kenang Alfa Hisage tentang situasi chaos saat itu. Meskipun situasi memburuk, mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan aksi hingga kantor gubernur. Mereka bahkan bermalam di sana karena adanya sweeping (razia) yang dilakukan polisi, membuat mereka sulit untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing dengan aman.
Keesokan harinya, Alfa Hisage bersama pamannya mencoba pulang dengan menumpang taksi. Namun, di tengah perjalanan, taksi mereka diberhentikan oleh rombongan polisi dan tentara yang sedang menggelar razia di jalan. Karena identitasnya sebagai koordinator lapangan aksi demonstrasi sudah diketahui oleh polisi, Alfa menduga bahwa ia akan menjadi target utama aparat.
Dugaan Alfa ternyata benar. Begitu turun dari taksi, ia langsung dipukul dengan popor senjata di dekat bokong, menyebabkan ia terjatuh di aspal. Ini adalah awal dari perlakuan kasar yang ia klaim terima. Polisi kemudian dilaporkan menginjak kepala dan badan Alfa saat ia tergeletak tak berdaya. Ia juga ditendang menggunakan sepatu boot, menggambarkan tingkat kekerasan yang digunakan.
Di pos polisi kecil Dok 5, tempat ia dibawa setelah ditangkap, Alfa mengklaim dirinya kembali mengalami penyiksaan yang lebih brutal. “Saya seperti bola,” katanya, “ibarat kepala ditendang dari kaki ke kaki.” Penyiksaan itu menyebabkan kepalanya bocor dan badannya penuh darah, meninggalkan bekas luka fisik yang parah.
Penyiksaan fisik tersebut, seingatnya, berlangsung sekitar lima menit yang terasa seperti keabadian. Selain itu, aparat juga dilaporkan memotong paksa rambut gimbalnya dengan menggunakan sangkur, sebuah tindakan yang tidak hanya merusak fisik tetapi juga memiliki makna kultural yang dalam bagi sebagian orang Papua.
Alfa Hisage menegaskan bahwa penangkapannya saat itu tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Menurutnya, seharusnya ada surat penangkapan yang ditunjukkan sebelum seseorang ditahan. “Surat penangkapan baru diberikan setelah 1x24 jam saat saya ditahan di polda, tanggal 31 Agustus,” ujarnya, menunjukkan adanya pelanggaran prosedur sejak awal.
Selain siksaan fisik, Alfa Hisage juga mengklaim bahwa aparat kepolisian yang menahannya melontarkan kata-kata rasial yang menyamakan dirinya dengan binatang, sama seperti ujaran yang memicu protes di Surabaya. Perlakuan ini semakin menguatkan kesan adanya motif rasisme di balik tindakan aparat.
Oleh pihak kepolisian, Alfa Hisage didakwa dengan pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Namun, dalam proses persidangan, majelis hakim akhirnya membebaskannya demi hukum. Hakim menilai bahwa Alfa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, mengakhiri masa tahanannya meskipun ia telah mengalami kekerasan dan trauma.
Pada saat itu, Kapolri yang menjabat, Tito Karnavian, memang mengonfirmasi bahwa polisi menahan setidaknya 400 orang terkait dengan demonstrasi yang berujung pada kerusuhan di Kota Jayapura. Ia menyatakan bahwa dari jumlah tersebut, polisi melakukan seleksi untuk menentukan siapa yang ditetapkan sebagai tersangka dan siapa yang hanya dimintai keterangan sebagai saksi. Jumlah penangkapan massal ini menjadi salah satu poin yang disorot dalam laporan HRW sebagai indikasi peningkatan represi.
Diskriminasi, Rasialisme, dan Penangkapan di Era Jokowi Meningkat, Kata HRW¶
Peneliti HRW, Andreas Harsono, bersama peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, memiliki pandangan senada mengenai situasi di Papua. Mereka berdua menyatakan bahwa perlakuan rasisme yang kemudian berujung pada tindakan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang asli Papua “sangat kelihatan dan jumlahnya sangat banyak” selama masa pemerintahan Presiden Jokowi. Pandangan ini didasarkan pada pengamatan dan data yang mereka kumpulkan.
Meskipun rasisme terhadap orang Papua bukanlah fenomena baru dan sudah terjadi sejak lama dalam sejarah Indonesia, keduanya berpendapat bahwa situasi ini justru memburuk di era Jokowi. Menurut mereka, ini disebabkan karena pemerintah Jokowi lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan dalam menghadapi isu-isu di Papua. Pendekatan ini, klaim mereka, cenderung mengesampingkan dialog dan malah memangkas kebebasan berekspresi. Selain itu, eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran juga dianggap memperparah keadaan.
“Rasisme lebih banyak di zaman Jokowi karena dia lebih banyak melakukan persekusi terhadap orang Papua dan tidak menggunakan pendekatan dialog untuk penyelesaian konflik,” ujar Cahyo Pamungkas, menjelaskan salah satu alasan utama di balik pandangan mereka. Ia menekankan bahwa pendekatan keamanan yang dominan justru memperparah konflik dan diskriminasi yang sudah ada.
Cahyo kemudian mengajukan sebuah pertanyaan retoris yang menggugah pikiran: “Pertanyaannya, kalau pemerintah tidak rasis terhadap orang Papua, lantas mengapa Indonesia bisa menyelesaikan masalah Aceh secara damai dan non-kekerasan? Tapi di Papua tetap mempertahankan cara kekerasan?” Baginya, perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang adanya bias rasial dalam kebijakan negara terhadap Papua. Ia melanjutkan, “Apakah karena berbeda ras, etnis, atau agama?”
Ketika dibandingkan dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Cahyo mengakui bahwa perlakuan rasisme dalam berbagai bidang—baik politik, teknokrasi, maupun industrial—sebetulnya juga terjadi. Diskriminasi bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Namun, ia berpendapat bahwa di masa pemerintahan Jokowi, jumlah kasusnya jauh lebih banyak dan praktiknya menjadi “sangat-sangat kelihatan”. Klaim ini menunjukkan persepsi adanya peningkatan intensitas dan visibilitas rasisme.
Di era SBY, menurut Cahyo, orang Papua yang berdemonstrasi untuk menuntut kemerdekaan atau referendum, meskipun tidak sepenuhnya dibiarkan, “tidak sampai direpresi secara keras.” Ia menjelaskan bahwa paling-paling aksi demonstrasi tersebut hanya dibubarkan oleh aparat. Ini mengindikasikan adanya ruang publik yang, meskipun terbatas, masih dibuka untuk menyuarakan pendapat. “Di era Jokowi, ruang itu ditutup,” tegasnya, menggambarkan adanya pengetatan terhadap kebebasan berekspresi.
Perbedaan lain antara era SBY dan Jokowi, menurut Andreas Harsono, terlihat dari kasus-kasus yang dituduhkan sebagai “makar”. Di zaman SBY, jumlah aktivis Papua yang dijebloskan ke penjara dengan tuduhan makar mungkin lebih sedikit. Namun, vonis yang dijatuhkan sering kali sangat panjang, bahkan mencapai belasan tahun penjara. Ini menunjukkan adanya penindakan yang berat terhadap individu kunci.
Sementara itu, klaim Andreas, di zaman Jokowi, jumlah aktivis Papua yang dipenjara justru sangat banyak. Namun, menariknya, hukuman yang dijatuhkan cenderung “pendek-pendek”, biasanya berkisar antara satu sampai tiga tahun. Pola ini mungkin mengindikasikan strategi penindakan yang lebih luas, menyasar lebih banyak orang dengan hukuman yang lebih singkat, dibandingkan penindakan yang sangat berat terhadap individu-individu tertentu.
Organisasi Human Rights Watch dalam laporannya mengutip data dari Papuans Behind Bars, sebuah organisasi non-pemerintah yang secara khusus memantau kasus-kasus penangkapan yang bermotif politik di Papua. Data dari lembaga ini menjadi salah satu bukti yang digunakan HRW untuk mendukung klaimnya. Papuans Behind Bars mencatat angka yang mengkhawatirkan.
Lembaga tersebut mencatat ada 418 kasus penangkapan yang dianggap bermotif politik terjadi dalam periode satu tahun, yaitu dari Oktober 2020 hingga September 2021. Di antara ratusan kasus penangkapan tersebut, setidaknya 245 orang didakwa, dinyatakan bersalah, dan akhirnya dipenjara hanya karena bergabung dalam aksi protes atau demonstrasi. Angka ini menunjukkan betapa tingginya risiko partisipasi dalam kegiatan publik di Papua.
Lebih spesifik lagi, dari 245 orang yang dipenjara karena protes, 109 orang di antaranya divonis hukuman penjara berdasarkan tuduhan “makar”. Tuduhan makar sering kali diterapkan pada tindakan yang dianggap mengancam keutuhan negara, termasuk mengibarkan bendera Bintang Kejora atau menyuarakan keinginan referendum. Penggunaan pasal ini secara luas terhadap peserta aksi damai menjadi sorotan utama para pegiat HAM.
Salah satu mahasiswa Papua yang menjadi korban penggunaan pasal makar ini adalah Ariana Elopere. Kisahnya diceritakan dalam laporan HRW sebagai contoh bagaimana ekspresi budaya dan politik dapat berujung pada jerat hukum. Ariana adalah seorang mahasiswa teologi yang ikut serta dalam aksi protes di Jakarta pada Agustus 2019, menyusul insiden di Surabaya.
Dalam aksinya, Ariana mengenakan pakaian adat Papua, rok salis, dan menghiasi tubuh serta wajahnya dengan riasan budaya. Ia juga mewarnai wajahnya dengan warna-warna Bintang Fajar—merah, putih, dan biru—yang merupakan simbol perlawanan. Warna hitam dan cokelat juga digunakan, melambangkan identitas mereka sebagai anak-anak Papua. Ini adalah bentuk ekspresi budaya dan politik yang damai.
Tanpa disadarinya, saat beraksi, ia difoto oleh seseorang yang diduga adalah pejabat intelijen. Dalam foto tersebut, Ariana terlihat mengenakan Bendera Bintang Kejora yang dililitkan di tubuhnya. Mengibarkan atau menggunakan simbol Bintang Kejora dianggap sebagai tindakan makar oleh pemerintah Indonesia, meskipun banyak orang Papua melihatnya sebagai simbol budaya atau aspirasi politik damai.
“Saya tidak menyadari ada yang mengambil foto saya. Tapi itu saya, itulah yang saya lakukan,” kata Ariana dalam laporan HRW, mengkonfirmasi keaslian foto tersebut. Ia menjelaskan makna tindakannya: “Saya menyentuh Bintang Kejora, melingkarkannya di tubuh saya. Ketika saya melihat Bintang Fajar, bendera kami, saya memeluknya.” Baginya, itu bukan tindakan makar, melainkan ekspresi kebanggaan dan harapan.
Ariana menjelaskan lebih lanjut bahwa Bendera Bintang Fajar/Kejora bagi masyarakat Papua adalah simbol dari gerakan mereka untuk perdamaian dan kebebasan di Papua. Memeluk bendera itu adalah bentuk ekspresi identitas dan aspirasi. Namun, tindakan simbolik ini justru membawanya ke dalam masalah hukum yang serius, menunjukkan bagaimana ekspresi politik di Papua bisa diinterpretasikan secara represif oleh negara.
Pembangunan Infrastruktur ala Jokowi Berbeda dengan Keinginan Orang Papua¶
Human Rights Watch dalam laporannya juga menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak melakukan banyak upaya yang berarti untuk benar-benar mengatasi persoalan rasisme yang telah menimpa orang Papua selama bertahun-tahun. Sebaliknya, menurut pandangan mereka, pemerintah justru mengadopsi kebijakan yang secara sistematis cenderung mendiskriminasi orang Papua. Di saat yang sama, proses eksploitasi sumber daya alam yang kaya di Papua terus berlanjut, sering kali tanpa manfaat yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Pandangan HRW ini diamini oleh Cahyo Pamungkas dari BRIN. Ia menilai bahwa selama masa pemerintahannya, Presiden Jokowi terlalu memfokuskan perhatian dan anggarannya pada pembangunan fisik, terutama infrastruktur besar-besaran di Papua. Namun, fokus ini, menurut Cahyo, telah mengabaikan aspek-aspek fundamental lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat Papua, seperti aspek kultural, kebudayaan, sejarah, dan sosial.
Cahyo Pamungkas mengambil contoh spesifik dari pembangunan jalan Trans Papua yang membentang sepanjang kurang lebih 4.600 kilometer. Proyek besar ini, yang sering dibanggakan pemerintah sebagai capaian, justru disebutnya sebagai “jalan bencana”. Alasannya, pembangunan jalan tersebut, menurutnya, sama sekali tidak berhasil membebaskan orang asli Papua dari lingkaran kemiskinan yang masih melilit mereka. Manfaat ekonominya tidak dirasakan oleh masyarakat lokal.
“Jalan itu hanya mempercepat barang-barang industri ke kampung-kampung di Papua,” ujar Cahyo, menjelaskan fungsi utama jalan tersebut dalam praktiknya. Namun, di sisi lain, jalan itu ternyata “tidak bisa membawa hasil pertanian keluar dari kampung ke kota.” Ini berarti, hasil bumi yang dihasilkan petani lokal tidak bisa dengan mudah diakses pasar yang lebih besar, membuat ekonomi lokal stagnan.
Lebih lanjut, Cahyo mengkritik bahwa pembangunan jalan Trans Papua juga berdampak negatif yang signifikan. “Jalan itu juga merusak keanekaragaman hayati, merusak alam,” katanya, menyoroti dampak lingkungan yang serius. Selain itu, pembangunan infrastruktur ini “mempermudah operasi militer di daerah terisolasi,” yang justru meningkatkan potensi konflik dan pelanggaran HAM. Dampak lainnya adalah “mempercepat masuknya pendatang, serta konflik” sosial yang sering timbul akibat perubahan demografi dan persaingan sumber daya.
Kritik ini menunjukkan bahwa visi pembangunan yang diusung pemerintah pusat, yang cenderung seragam dan berbasis infrastruktur fisik, mungkin tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kebutuhan dan cara hidup masyarakat adat Papua. Kurangnya dialog dan pemahaman terhadap konteks lokal membuat proyek-proyek besar ini dianggap justru membawa lebih banyak masalah daripada solusi bagi orang Papua.
Apa Dampaknya jika Rasialisme Dibiarkan?¶
Cahyo Pamungkas menjelaskan bahwa akar mendalam rasialisme di Papua tidak terlepas dari relasi historis yang bersifat kolonialistik antara pemerintah pusat dan wilayah tersebut. Pola pikir dan struktur yang terbangun dari masa lalu masih memengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap orang Papua. Ia menekankan bahwa tidak bisa dipungkiri, sebagian masyarakat di Indonesia masih memandang orang Papua secara berbeda, hanya berdasarkan ciri fisik mereka, seperti warna kulit.
“Misal orang berkulit hitam lebih rendah dari kulit putih,” kata Cahyo, memberikan contoh pandangan diskriminatif yang masih ada di masyarakat. Pandangan semacam ini menciptakan jarak sosial dan menganggap orang Papua tidak setara dengan kelompok mayoritas. Ini bukan sekadar prasangka individu, tetapi juga termanifestasi dalam struktur sosial dan kebijakan.
Jika pemerintah membiarkan perlakuan rasial seperti ini terus terjadi tanpa penanganan serius, Cahyo memperingatkan akan adanya konsekuensi yang signifikan. Menurutnya, pembiaran ini akan secara langsung berkontribusi pada semakin membesarnya dukungan warga Papua terhadap gerakan kemerdekaan. Ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif akan memperkuat alasan bagi mereka untuk mencari jalan politik lain di luar Indonesia.
Dalam konteks ini, “Ideologi Papua merdeka akan tumbuh subur,” ujar Cahyo. Ketika aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat lokal terus diabaikan atau dilanggar dengan dalih pembangunan atau keamanan, narasi perjuangan kemerdekaan akan semakin kuat dan mendapatkan legitimasi di mata masyarakat Papua sendiri. Ini akan menjadi tantangan besar bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara politik, kata Cahyo, hal ini bisa menjadi sangat membahayakan bagi pemerintah Indonesia. Ketika dukungan terhadap gerakan Papua merdeka sudah tak terbendung dan meluas di masyarakat, ini akan memperburuk situasi konflik yang sudah ada. Kekerasan akan cenderung meningkat, baik dari pihak aparat maupun kelompok perlawanan bersenjata, menciptakan lingkaran setan kekerasan yang sulit dipecahkan.
Andreas Harsono dari HRW memiliki pandangan serupa mengenai pentingnya menangani isu rasisme ini. Ia sekali lagi menyerukan kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, untuk melihat persoalan di Papua dengan benar dan serius sejak awal masa kepemimpinannya. Mengabaikan akar masalah rasialisme hanya akan memperparah situasi.
Langkah-langkah konkret yang bisa diambil Prabowo, menurut Andreas, dimulai dari memberikan amnesti atau membebaskan semua tahanan politik Papua yang saat ini masih mendekam di penjara. Ia juga menekankan pentingnya memberikan kompensasi yang adil dan layak atas kerugian, baik fisik maupun material, yang telah dialami oleh para korban penangkapan dan diskriminasi tersebut. Ini adalah langkah awal untuk membangun kembali kepercayaan.
Saran lain yang diberikan Andreas adalah mencabut pembatasan akses bagi wartawan asing ke Papua. Saat ini, wartawan asing seringkali menghadapi prosedur skrining dan perizinan yang sulit untuk meliput di Papua, yang dianggap menghambat transparansi dan pengawasan internasional terhadap situasi hak asasi manusia di sana. Membuka akses akan memungkinkan dunia luar melihat langsung kondisi di lapangan.
Cahyo Pamungkas juga menambahkan saran strategis untuk Prabowo. Ia menyarankan agar pemerintah yang baru membuka pintu dialog yang tulus dengan kelompok-kelompok di Papua yang selama ini secara konsisten menyuarakan keinginan untuk merdeka. Dialog ini haruslah terbuka dan tanpa prasangka, memberikan ruang bagi semua pihak untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Dalam dialog tersebut, pemerintah pusat harus bersedia untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh keinginan dan tuntutan masyarakat Papua. Jika pemerintah tetap berkeinginan agar Papua berada dalam kesatuan wilayah Indonesia, maka menurut Cahyo, jalan terbaik adalah dengan memenuhi apa yang diperlukan untuk memberikan keadilan, kesejahteraan, dan martabat bagi orang Papua di tanah mereka sendiri.
“Saya kira dengan dialog maka konflik akan menurun dan pasukan non-organik bisa ditarik perlahan-lahan,” ujar Cahyo. Pendekatan dialog dianggap lebih efektif daripada pendekatan militeristik yang selama ini diterapkan. Mengurangi kehadiran pasukan keamanan non-organik yang seringkali menjadi sumber ketegangan dapat membantu meredakan konflik dan menciptakan lingkungan yang lebih aman.
Cahyo juga memberikan peringatan: “Kalau pun Prabowo memilih jalan kekerasan di Papua, dia akan menghadapi risiko.” Ia menjelaskan bahwa memilih pendekatan militeristik dan represif hanya akan memperpanjang dan memperburuk konflik. “Selama kekuasaannya akan diganggu dengan masalah Papua,” tambahnya, menyiratkan bahwa isu Papua akan terus menjadi duri dalam daging bagi pemerintahan Prabowo-Gibran jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat dan berkeadilan.
Apa Kata Pemerintah?¶
Menanggapi kritik dan laporan semacam ini, pemerintah Indonesia, khususnya selama era Presiden Jokowi, seringkali menekankan komitmennya terhadap pembangunan di Papua. Pada April 2024, menjelang akhir masa jabatan Jokowi, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Theofransus Litaay, menyampaikan pernyataan yang menggambarkan sudut pandang pemerintah.
Theofransus Litaay mengklaim bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi, telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan di Indonesia. “Dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan holistik, dengan penekanan pada akselerasi kesejahteraan,” paparnya saat menghadiri acara Rapat Kerja II Kepala Daerah se-Tanah Papua di Wamena. Ia menekankan bahwa fokus pembangunan telah beralih dari “Jawasentris menjadi Indonesiasentris”, dan paradigma baru ini, menurutnya, secara khusus dicanangkan dan diprioritaskan di Papua.
Menurut Theofransus Litaay, perhatian besar Presiden Jokowi terhadap Papua dapat dilihat dari intensitas kunjungan beliau ke wilayah tersebut. “Kunjungan Presiden ke Papua setidaknya tercatat sebanyak 19 kali sejak awal menjabat,” tuturnya. Angka kunjungan yang tinggi ini, menurut KSP, menunjukkan komitmen pribadi Presiden untuk memantau dan mendorong pembangunan di sana.
Selain kunjungan Presiden, Theofransus Litaay juga menyebutkan bahwa ratusan kali kunjungan juga dilakukan oleh para Menteri, Deputi, maupun Direktur Jenderal terkait ke berbagai wilayah di Papua. Ini, klaimnya, menunjukkan koordinasi dan upaya serius dari seluruh jajaran pemerintah pusat untuk memastikan program-program pembangunan berjalan. “Karena itu pada periode kedua kepemimpinannya, presiden mendorong agar pembangunan di Papua terus diakselerasi melalui berbagai inovasi dalam praktek pembangunan,” pungkas Theofransus Litaay, menggambarkan ambisi pemerintah untuk mempercepat kemajuan di Papua.
Namun, laporan HRW dan pandangan para peneliti seperti Andreas Harsono dan Cahyo Pamungkas menunjukkan adanya perbedaan sudut pandang yang signifikan. Sementara pemerintah menyoroti pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan, kritikus berpendapat bahwa akar masalah diskriminasi rasial dan pelanggaran HAM belum tertangani, bahkan mungkin memburuk, dan pendekatan yang dominan masih bersifat keamanan serta mengabaikan aspirasi politik dan budaya masyarakat asli.
Apa pendapatmu tentang laporan Human Rights Watch ini? Apakah kamu setuju bahwa diskriminasi rasial terhadap orang Papua semakin parah di era Jokowi, atau kamu lebih melihat sisi pembangunan dan perhatian pemerintah? Bagikan pandanganmu di kolom komentar!
Posting Komentar