Khutbah Jumat Spesial 1 Muharram 1447 H: Inspirasi Awal Tahun Hijriah!

Daftar Isi

Khutbah Jumat 1 Muharram Inspirasi Awal Tahun Hijriah

Tanggal 1 Muharram 1447 H ini jadi penanda datangnya tahun baru dalam kalender Hijriyah. Serunya, momen ini bertepatan dengan hari Jumat, lho! Buat kaum Muslimin, ini kesempatan emas buat mengawali tahun baru Islam dengan Khutbah Jumat 1 Muharram yang isinya penuh makna dan bisa membangkitkan semangat perubahan. Khutbah Jumat ini bukan cuma sekadar ritual mingguan biasa. Lebih dari itu, ini adalah momen spiritual yang super penting buat menanamkan nilai-nilai hijrah dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dengan tema yang pas dan disampaikan dengan menyentuh hati, khutbah ini bisa jadi titik awal buat perubahan positif umat Islam di tahun Hijriyah yang baru ini. Ada beberapa naskah khutbah Jumat tentang tahun baru Islam 1 Muharram yang bisa jadi inspirasi, diambil dari sumber-sumber kredibel. Mari kita lihat beberapa contohnya.

Menyerap Pelajaran Penting Tahun Baru Hijriah

Oleh: Alif Budi Luhur

Khutbah I

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزَّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضَ الشُّهُوْرِ وَالْأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الْأَجْرُ وَالْحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ هُدَاةِ الْأَنَامِ فِيْ أَنْحَاءِ الْبِلَادِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهاَ النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ.

Waktu tuh ngalir terus, ya. Tau-tau aja, kita udah sampai lagi di momen pergantian tahun Hijriah. Dari detik ke menit, jam, hari, bulan, sampai setahun penuh, waktu terus bergerak maju. Ini artinya, umur kita juga ikutan bertambah. Nah, pertanyaan pentingnya: apakah bertambahnya usia kita ini juga dibarengi sama bertambahnya keberkahan hidup? Ini pertanyaan yang kayaknya simpel, tapi jawabannya butuh perenungan panjang lebar, sambil ngelihat lagi jejak langkah hidup kita yang udah lewat.

Tahun baru Hijriah yang kita peringati setiap tahun ini menyimpan sejarah dan nilai-nilai yang relevan banget sampai sekarang. Bayangin aja, Nabi Muhammad sendiri nggak pernah secara khusus menetapkan kapan tahun baru Islam itu dimulai. Hal ini juga berlaku di masa kepemimpinan khalifah pertama, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq. Penetapan awal penanggalan Islam ini baru resmi diputuskan pada era khalifah kedua, Sayyidina Umar bin Khathab, salah satu sahabat Nabi yang terkenal berani bikin banyak terobosan selama memimpin umat Islam.

Keputusan besar ini diambil lewat musyawarah. Awalnya, ada beberapa usulan menarik yang muncul. Salah satunya adalah menghitung tahun Islam dimulai dari masa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Usulan ini sebenernya cukup masuk akal, lho. Rasulullah itu kan sosok luar biasa, beliau membawa revolusi peradaban yang jauh lebih baik bagi masyarakat Arab waktu itu. Jadi, kelahiran beliau dianggap sebagai monumen penting lahirnya peradaban itu sendiri. Kita bisa lihat contohnya pada tahun baru Masehi yang juga dimulai dari masa kelahiran figur yang diyakini membawa perubahan besar, yaitu Isa al-Masih.

Tapi, yang menarik, Sayyidina Umar bin Khattab menolak usulan ini. Setelah diskusi panjang dan musyawarah yang mendalam, forum menyepakati momen Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai awal penghitungan kalender Islam. Kalender ini kemudian dikenal sebagai kalender qamariyah, yang acuannya pergerakan bulan, bukan matahari. Makanya, kalender ini lalu dinamai tahun Hijriah, diambil dari kata hijrah yang artinya pindah atau migrasi. Pemilihan momen Hijrah ini punya makna filosofis dan spiritual yang sangat dalam dibandingkan momen kelahiran Nabi.

Jamaah salat Jum’at hafidhakumullah,

Kenapa milih momen Hijrah daripada kelahiran Nabi? Keputusan Umar dan sahabat lainnya ini punya makna yang sangat dalam. Kelahiran itu kan peristiwa alamiah yang terjadi begitu aja pada setiap manusia, kita nggak bisa menolaknya. Nabi Muhammad SAW sendiri juga nggak langsung diangkat jadi nabi begitu lahir, tapi baru setelah usia 40 tahun. Saat lahir, beliau hanya seorang bayi dari Abdullah bin Abdul Muthalib. Beda banget sama Hijrah. Momen Hijrah ini mengandung tekad kuat, semangat perjuangan, perencanaan matang, dan kerja keras menuju tujuan yang jelas. Tujuannya apa? Buat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang didasari ajaran ketuhanan dalam Islam, yaitu rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam.

Nabi memutuskan untuk hijrah setelah melalui proses yang panjang dan penuh tantangan selama 13 tahun berdakwah di Makkah. Di sana, beliau dan para sahabat menghadapi berbagai rintangan. Mulai dari dicaci-maki, dilempari kotoran unta, kekerasan fisik, sampai percobaan pembunuhan. Semua itu dilalui dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan yang luar biasa. Modal utama Nabi sampai berhasil menyadarkan banyak orang adalah akhlak mulia beliau yang tak tertandingi. Beliau tampil sebagai agen perubahan di tengah masyarakat Arab yang kondisinya saat itu bisa dibilang cukup parah atau jahiliyah. Konsep tauhid udah melenceng jauh, mereka malah menyembah berhala. Nilai-nilai kemanusiaan juga nyaris nggak ada; perbudakan marak, fanatisme suku tinggi banget, riba di mana-mana, bahkan ada praktik mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Nabi Muhammad SAW yang ingin mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat ini harus berhadapan langsung sama para pembesar suku Quraisy yang iri, tamak kekuasaan, bahkan ada paman beliau sendiri yang jadi penentang keras, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab.

Meskipun tantangan berat, jumlah pengikut Islam terus bertambah. Seiring dengan itu, tekanan dari kaum musyrikin Quraisy juga makin kuat. Sampai akhirnya, atas perintah Allah SWT, Nabi Muhammad bersama para sahabatnya berhijrah dari Makkah ke kota Yatsrib, yang kelak kita kenal dengan nama Madinah. Perjalanan hijrah ini bukan perjalanan biasa, lho. Mereka melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi, penuh kewaspadaan, demi menghindari kejaran kaum musyrikin Quraisy yang udah berniat buruk.

Alhamdulillah, setibanya di Yatsrib, Rasulullah dan para sahabat disambut baik oleh penduduk setempat, yang dikenal sebagai kaum Ansar. Sebagian dari mereka bahkan sudah mengenal Islam dan pernah berbaiat (berjanji setia) kepada Nabi saat di Makkah dalam peristiwa Baiat Aqabah. Di sinilah, di tanah Yatsrib yang baru, Nabi Muhammad SAW mulai membangun peradaban Islam yang kokoh. Jumlah penganut Islam makin banyak, semangat persaudaraan antara kaum Muhajirin (yang hijrah dari Makkah) dan Ansar (penduduk asli Madinah) dipupuk erat. Nggak cuma itu, Nabi juga menjalin kesepakatan-kesepakatan penting dengan kelompok non-Muslim di Madinah, demi menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis.

Langkah pertama dan paling simbolis yang dilakukan Nabi setelah hijrah adalah mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Kenapa Madinah? Kata Madinah ini secara bahasa punya arti tempat peradaban. Perubahan nama ini punya pesan kuat tentang pergeseran pola perjuangan Nabi. Kalau di Makkah perjuangan Nabi lebih banyak fokus pada penyadaran individu, di Madinah dakwah berkembang dalam konteks sosial yang terorganisir dalam sebuah negara Madinah. Di sinilah konstitusi pertama dalam Islam, Mitsaq al-Madinah atau Piagam Madinah, dibentuk. Struktur pemerintahan disusun, dan banyak aturan Islam terkait muamalah (hubungan antarsesama) dikeluarkan. Tentang Piagam Madinah ini, Nabi menjadikannya sebagai titik temu bagi masyarakat Madinah yang sangat plural saat itu, yang terdiri dari orang Muslim, orang Yahudi, berbagai suku di Madinah, dan lain-lain. Peristiwa hijrah Nabi yang monumental itu seolah mendapatkan momentum puncaknya, yaitu terwujudnya masyarakat yang beradab, adil, dan harmonis.

Jamaah salat Jum’at hafidhakumullah,

Dari kisah panjang Hijrah Nabi ini, ada dua poin penting yang bisa kita garisbawahi dan renungkan, terutama di momen tahun baru Hijriah ini.

Pertama, tahun baru Hijriah harus kita pahami dalam konteks perjuangan Nabi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (rahmatan lil ‘alamin). Nabi sebagai sosok, termasuk momen kelahirannya, memang layak dan wajib kita hormati. Tapi, ada yang jauh lebih penting dari sekadar menghormati sosok fisik, yaitu spirit dan prestasi beliau sepanjang periode kenabiannya. Dalam perjuangan Hijrah itu, terkandung banyak nilai luhur: ada ikhtiar (usaha keras), pengorbanan, keteguhan prinsip, keseriusan, kesabaran, dan yang paling krusial, keikhlasan. Keikhlasan ini penting banget, karena Rasulullah pernah bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Artinya: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

Hadits ini menegaskan betapa Nabi dan para sahabatnya menunjukkan ketulusan luar biasa, niat mereka murni hanya untuk jalan Allah. Tapi justru karena niat yang ikhlas seperti inilah, mereka malah mendapatkan banyak hal lain sebagai bonus atau karunia dari Allah. Mereka mendapatkan persaudaraan yang kuat, keluarga baru, keamanan, bahkan kekayaan dan kesejahteraan selama di Madinah. Keikhlasan yang dibarengi kerja keras dalam membangun masyarakat yang berketuhanan sekaligus berkeadaban ini berbuah manis, meskipun tantangan pasti selalu ada di depan mata. Inilah teladan berharga yang Nabi berikan dari hasil berhijrah.

Poin kedua yang tak kalah penting adalah kenyataan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak membangun negara berdasarkan fanatisme kelompok, suku, atau ras. Sebaliknya, Rasulullah menginisiasi terciptanya sebuah kesepakatan bersama (social contract) yang melibatkan seluruh penduduk Yatsrib, apapun latar belakang agama dan sukunya. Kesepakatan ini dibuat demi menjamin kebebasan beragama, keamanan bersama, penegakan akhlak mulia, dan persaudaraan antar seluruh anggota masyarakat. Tujuan dari kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah itu masih sangat relevan kita terapkan hingga sekarang di tengah keberagaman masyarakat kita. Inilah makna hakiki dari hijrah yang tak hanya bermakna pindah tempat secara fisik, melainkan juga pindah orientasi: dari kondisi yang buruk menjadi baik, dan dari yang baik menjadi lebih baik lagi. Dan yang utama, Rasulullah SAW meneladankan bahwa perubahan ini tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk kemaslahatan masyarakat secara kolektif.

Semoga pergantian tahun Hijriah ini membawa keberkahan bagi umur kita semua. Mari kita belajar dari peristiwa hijrah Rasulullah SAW yang monumental, mengambil inspirasi dari nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya untuk memperbaiki diri dan berkontribusi pada perbaikan masyarakat di sekitar kita. Wallahu a’lam bish-shawab.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ تَعَالَى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ.

Khutbah II

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعَالَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَالْمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا خَاصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي اْل قُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْل مُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap khatib dalam khutbahnya. Selain itu, khatib juga punya kewajiban penting buat mengingatkan jamaah tentang wasiat ketakwaan. Oleh karena itu, di momen khutbah Jumat spesial ini, khatib mengajak kepada seluruh jamaah, termasuk diri khatib sendiri, untuk senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya, menyampaikan shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, sekaligus terus meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Gimana sih cara meningkatkan takwa itu? Kuncinya adalah dengan senantiasa lebih semangat lagi dalam menjalankan segala perintah Allah dan sekuat tenaga menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Dengan upaya ini, insya Allah kita akan mampu terus berada di jalur yang udah ditetapkan oleh agama, sehingga hidup kita nggak melenceng dan tersesat ke jalan yang salah atau nggak benar. Ini adalah bekal terbaik dalam menjalani kehidupan.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Memang bener banget, kehidupan kita di dunia ini itu ibarat sedang melewati sebuah jalan yang lintasannya penuh dengan dinamika dan tantangan. Kadang kita ketemu medan yang terjal yang butuh usaha keras buat mendakinya, tapi kadang juga kita nemuin medan yang menurun atau mendatar. Kita nggak boleh terlena di medan yang mudah, dan nggak boleh menyerah di medan yang sulit. Perjalanan hidup kita selalu menyisakan masa lalu sebagai pengalaman berharga, masa kini sebagai kenyataan yang harus kita jalani, dan masa yang akan datang sebagai harapan serta persiapan.

Nah, biar perjalanan kita lancar dan selamat sampai tujuan, kita butuh rambu-rambu. Rambu-rambu ini yang akan memandu kita di jalan yang benar. Dan bekal yang paling baik buat perjalanan ini adalah ketakwaan. Allah SWT sendiri mengingatkan kita dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 197:

وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُوْنِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

“Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.”

Ayat ini jelas banget menekankan pentingnya ketakwaan sebagai bekal utama. Orang yang berakal sehat pasti ngerti ini. Takwa bukan cuma soal ibadah ritual, tapi juga gimana kita menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan pengawasan Allah, ngelakuin yang baik, dan ngehindarin yang buruk.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dalam sebuah perjalanan yang panjang, kita pasti butuh istirahat sejenak. Berhenti sebentar buat mengumpulkan kembali semangat dan tenaga, biar kuat melanjutkan perjalanan lagi. Begitu juga dalam kehidupan di dunia ini, kita mesti banget menyediakan waktu khusus buat melakukan introspeksi diri, evaluasi diri, menghitung-hitung amal perbuatan kita, sekaligus merenung (kontemplasi) secara mendalam. Dalam bahasa Arab, kegiatan ini disebut muhasabah.

Pentingnya muhasabah ini udah ditekankan sejak dulu oleh para sahabat. Sayyidina Umar bin Khattab RA pernah menyampaikan nasehat yang sangat berharga:

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ اْلأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا

“Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab (di hari Kiamat), dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hari hisab). Sesungguhnya hisab pada hari Kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”

Nasehat Umar ini menusuk banget ya. Kita disuruh self-reflect sekarang, sebelum nanti kita dihisab sama Allah di hari Akhir. Orang yang rajin muhasabah di dunia, hisabnya di akhirat nanti bakal lebih ringan. Kenapa? Karena dia udah nyicil “audit” dirinya sendiri.

Dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW juga menegaskan hal yang serupa. Beliau bersabda:

اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ اْلمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ

“Orang yang cerdas (sukses sejati) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah (tertinggal) adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan (kosong) terhadap Allah SWT.”

Hadits ini ngasih tau kita siapa itu orang yang cerdas dalam pandangan Islam. Bukan cuma pinter di dunia, tapi yang pinter nyiapin diri buat akhirat dengan muhasabah dan amal saleh. Sebaliknya, yang rugi itu yang cuma nurutin hawa nafsu dan berharap kosong sama ampunan Allah tanpa usaha.

Dan yang paling fundamental, dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga udah mengingatkan kita tentang pentingnya melakukan introspeksi diri, melihat apa yang udah kita lakukan di masa lalu sebagai bekal atau pelajaran buat menghadapi masa depan, khususnya masa depan abadi di akhirat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 18:

يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat ini secara eksplisit nyuruh kita, orang-orang beriman, buat bertakwa dan “melihat” atau “memperhatikan” apa yang udah kita siapkan buat “hari esok”, yaitu hari akhirat. Ini adalah perintah langsung dari Allah buat muhasabah!

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dari perintah Allah, Rasulullah, dan nasehat para sahabat tadi, kita bisa ambil beberapa catatan penting tentang manfaat besar dari introspeksi diri atau muhasabah ini. Setidaknya, ada 5 manfaat utama yang bisa kita rasakan ketika kita rutin melakukan upaya ‘charging’ atau mengecas ulang semangat hidup kita lewat muhasabah.

Mari kita rinci kelima manfaat tersebut dalam sebuah tabel sederhana:

No. Manfaat Muhasabah Penjelasan Singkat Ayat/Hadits Pendukung
1 Wahana Mengoreksi Diri Melihat kembali amal perbuatan (baik/buruk, manfaat/mudarat) dan menyadari pertanggungjawaban di hadapan Allah. Q.S. Yasin: 65 (anggota badan bersaksi)
2 Upaya Memperbaiki Diri Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan untuk diperbaiki di masa mendatang, meningkatkan kualitas hidup. Nasehat Umar bin Khattab (berhias diri untuk hisab besar)
3 Momentum Mawas Diri (Hati-hati) Belajar dari pengalaman dan kesalahan masa lalu agar tidak terjerumus pada hal yang sama di masa depan. Q.S. Al-Ma’idah: 92 (taat, hati-hati, penyampaian Rasul)
4 Memperkuat Komitmen Diri Berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan, membuang hal negatif, fokus pada perbuatan positif. Hadits HR Al-Hakim (Lebih baik hari ini dari kemarin)
5 Meningkatkan Rasa Syukur Menyadari besarnya nikmat Allah yang sering terlupakan, menjauhkan diri dari sifat kufur nikmat. Q.S. Ibrahim: 7 (nikmat bertambah bagi yang bersyukur)

Mari kita bahas lebih detail kelima manfaat ini:

Pertama, sebagai wahana mengoreksi diri. Dengan introspeksi diri, kita jadi bisa duduk manis sejenak, melihat kembali film perjalanan hidup kita selama ini. Kita bisa menilai, mana nih yang lebih dominan dari amal perbuatan kita? Apakah lebih banyak kebaikannya atau keburukannya? Amal kita lebih banyak bawa manfaat atau malah mudarat (kerugian)? Dan yang paling penting, apakah semua yang kita lakukan ini bikin kita makin dekat sama Allah atau malah makin jauh? Kita harus banget sadar, bahwa semua yang kita lakuin, sekecil apapun itu, harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Ingat firmannya:

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُوْنَ

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Q.S. Yasin: 65)

Ayat ini serem banget ya. Di hari Kiamat, mulut kita dikunci, tapi tangan dan kaki kita yang akan berbicara, bersaksi tentang apa yang udah kita lakuin di dunia. Muhasabah membantu kita “mendengar” kesaksian tangan dan kaki kita sekarang, sebelum hari itu tiba, biar kita bisa perbaiki.

Kedua, upaya memperbaiki diri. Begitu kita udah ngoreksi diri dan ngelihat mana aja kekurangan atau kesalahan kita, langkah selanjutnya adalah memperbaikinya. Introspeksi diri membuka mata kita buat ngelihat kelebihan kita (buat disyukuri dan ditingkatkan) dan kekurangan kita (buat diperbaiki). Dengan niat kuat untuk memperbaiki diri, kualitas hidup kita insya Allah bakal makin baik. Waktu yang kita lewati juga bakal lebih berkah, penuh manfaat, nggak cuma buat diri sendiri tapi juga buat orang lain di sekitar kita. Ini esensi dari pertumbuhan spiritual.

Ketiga, momentum mawas diri atau hati-hati. Pernah kan ngelewatin jalan yang banyak lubang atau berliku-liku? Kalau kita udah pernah lewatin itu dan hati-hati, insya Allah pas lewatin lagi kita bisa lebih waspada, kan? Nah, hidup juga gitu. Pengalaman dan kesalahan di masa lalu itu ibarat rambu-rambu atau “lubang” di jalan. Muhasabah bikin kita eling (sadar) dan mawas diri. Ini bakal menyelamatkan kita dari terjerumus lagi ke lubang atau jurang yang sama. Allah sendiri nyuruh kita hati-hati:

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْاۚ فَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَا عَلٰى رَسُوْلِنَا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ

“Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul serta berhati-hatilah! Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (ajaran Allah) dengan jelas.” (Q.S. Al-Ma’idah: 92)

Perintah buat taat dan hati-hati ini jadi pengingat, kita harus selalu waspada dalam melangkah di dunia ini, biar nggak salah jalan.

Keempat, memperkuat komitmen diri. Setiap manusia pasti pernah bikin kesalahan. Nggak ada yang luput dari salah dan khilaf. Nah, momen introspeksi diri itu adalah waktu yang pas banget buat “nge-charge” kembali komitmen kita. Komitmen untuk memperbaiki diri, berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama di masa lalu. Ibaratnya, jangan sampai kita jatuh di lubang yang sama berulang kali. Buang jauh-jauh masa lalu yang negatif, ambil pelajarannya, lalu fokus lakuin hal-hal positif hari ini dan seterusnya. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

“Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).” (HR Al-Hakim).

Hadits ini jadi motivasi sekaligus tamparan keras buat kita. Muhasabah membantu kita memastikan bahwa hari ini kita nggak sama atau bahkan lebih buruk dari kemarin. Kita harus beruntung dengan menjadi lebih baik setiap hari.

Kelima, sebagai sarana meningkatkan rasa syukur dan tahu diri. Ini penting banget! Kita harus sadar, sesadar-sadarnya, bahwa keberadaan kita sampai detik ini, segala nikmat yang kita rasakan, sama sekali nggak bisa lepas dari karunia Allah SWT yang luar biasa. Nikmat sehat, nikmat iman, nikmat rezeki, nikmat waktu luang… semuanya dari Allah. Introspeksi diri akan membawa kita untuk mengingat kembali nikmat-nikmat itu yang saking banyaknya sampai nggak bisa kita hitung satu per satu. Jangan sampai kita jadi golongan orang-orang yang nggak tahu diri, yang lupa diri, apalagi sampai kufur (mengingkari) nikmat Allah. Allah udah ingatkan kita dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Kalau kita rajin muhasabah, kita jadi makin nyadar betapa banyaknya nikmat Allah, dan ini akan mendorong kita untuk lebih bersyukur. Syukur itu kuncinya nambah nikmat. Sebaliknya, kalau kita nggak pernah introspeksi, bisa jadi kita nggak nyadar nikmat itu, lalu jadi kufur, dan ancamannya pedih banget.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dari semua uraian dan manfaat ini, mari kita jadikan muhasabah sebagai kebiasaan, rutin dilakukan setiap saat. Terlebih lagi, saat ini kita sedang berada di momen spesial pergantian tahun Hijriah. Ini waktu yang ideal banget buat “berhenti sejenak” dan melakukan introspeksi diri secara total. Melihat kembali setahun ke belakang, apa aja yang udah kita lakuin? Apa target kebaikan yang tercapai? Apa target kebaikan yang belum? Kesalahan apa aja yang dominan? Gimana hubungan kita sama Allah, sama sesama manusia, sama lingkungan?

Semoga dengan muhasabah ini, kita senantiasa mendapatkan petunjuk yang terbaik dari Allah SWT. Semoga kita mampu belajar dari perjalanan tahun lalu, mengambil semua hikmah dan pelajarannya, agar kita bisa menjalani tahun yang akan datang dengan lebih baik, lebih berkah, dan lebih dekat kepada ridha Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَجَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Muhasabah memang jadi kunci buat memulai tahun baru dengan lebih baik ya. Setelah menyimak khutbah ini, pelajaran apa yang paling berkesan buat kamu di momen tahun baru Hijriah kali ini? Yuk, share di kolom komentar!

Posting Komentar