Rumah Flat Lagi Hits di Menteng: Konsepnya Gimana Sih?

Daftar Isi

Rumah Flat Menteng Konsep

Belakangan ini, jagat media sosial lagi heboh banget nih ngebahas soal flat house atau rumah flat yang muncul di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Udah pada denger kan? Fenomena ini langsung jadi buah bibir karena lokasinya itu lho, di Menteng yang kita tahu banget adalah salah satu area paling elite dan mahal di Jakarta. Nah, yang bikin makin kaget, kabarnya satu unit rumah flat empat lantai ini harganya ada yang di bawah Rp 1 miliar! Bayangin aja, di Menteng, bisa punya hunian di bawah Rp 1 Miliar? Makanya langsung viral dan bikin penasaran banyak orang.

Dari luar, penampakan rumah flat di Menteng ini sekilas emang mirip-mirip sama apartemen gitu. Bentuknya bangunan bertingkat, bukan rumah tapak biasa yang punya halaman luas. Tapi kok dibilangnya rumah flat, bukan apartemen ya? Terus, konsepnya sebenernya gimana sih? Yuk kita bedah biar nggak penasaran lagi.

Apa Itu Rumah Flat?

Menurut Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (Waketum DPP REI), Bapak Bambang Ekajaya, rumah flat ini bisa dibilang semacam rumah deret tapi yang dibikin bertingkat. Tingginya terbatas, cuma sampai empat lantai aja. Jadi, beda sama apartemen yang biasanya menjulang tinggi belasan atau bahkan puluhan lantai.

Karena bentuknya bertingkat dan unit-unitnya ada di atas, kepemilikannya pun beda sama rumah tapak. Sistemnya pakai strata title, atau biasa kita kenal sebagai hak milik atas satuan rumah susun. Jadi, kamu tuh punya hak atas unit yang kamu beli di dalam bangunan itu, bukan tanah di bawahnya secara penuh kayak rumah tapak. Mirip-mirip sama kalau kita beli unit apartemen gitu deh.

Nah, yang jadi ciri khas dari rumah flat versi ini adalah ketinggiannya yang cuma empat lantai. Kenapa empat lantai? Kata Pak Bambang, ketinggian segitu tuh nggak butuh fasilitas lift. Makanya bisa disebut hunian vertikal tapi yang low-rise alias nggak tinggi-tinggi banget. Fasilitasnya juga minim, nggak selengkap apartemen mewah yang biasanya ada kolam renang, gym, atau area komersial di bawahnya. Konsepnya lebih ke hunian efisien di tengah kota.

Intinya gini, rumah flat ini kayak gabungan konsep rumah tapak (dalam bentuk deret) dan apartemen (dalam bentuk vertikal dan kepemilikan strata title). Dia menawarkan hunian di lokasi strategis di pusat kota, dengan harga yang (relatif) lebih terjangkau dibanding rumah tapak di lokasi yang sama, tapi dengan konsekuensi luas yang terbatas, nggak ada halaman pribadi, dan fasilitas yang basic banget. Karena cuma empat lantai dan nggak pakai lift, ini juga berarti kamu harus siap-siap naik tangga kalau unitmu ada di lantai atas. Tapi buat banyak orang, effort naik tangga dikit ini worth it banget demi bisa tinggal di lokasi premium seperti Menteng.

Konsep Lama Tapi Kok Viral Lagi?

Mungkin banyak yang ngira ini konsep baru banget karena baru heboh sekarang. Padahal, menurut Pak Bambang, konsep hunian vertikal low-rise kayak gini sebenernya udah lama lho diterapin di wilayah-wilayah yang harga tanahnya udah mahal banget. Kenapa? Karena kalau harga tanah udah tinggi, developer atau pengembang properti itu harus pinter-pinter memaksimalkan penggunaan lahan.

Caranya gimana? Ya dengan membangun ke atas, alias vertikal. Jadi, di sebidang tanah yang tadinya cuma bisa dibangun satu atau dua rumah tapak, dengan konsep flat atau rumah deret bertingkat ini, bisa dibangun empat atau lebih unit hunian. Ini memungkinkan developer buat nawarin harga per unit yang lebih ‘manusiawi’ di lokasi yang premium. Mereka mengoptimalisasi yang namanya Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), istilah teknis buat ngatur seberapa banyak luas tanah yang boleh dibangun dan seberapa tinggi bangunan boleh didirikan.

Contohnya nih, konsep kayak gini tuh udah ada di beberapa kawasan pengembangan kota mandiri yang harga tanahnya juga udah lumayan tinggi, kayak di Alam Sutera atau BSD City. Di sana, udah ada kok model-model perumahan yang dibangun berderet dan ada yang dibikin bertingkat dua, tiga, atau bahkan empat lantai dengan unit-unit terpisah dan kepemilikan strata title. Cuma mungkin nggak seheboh atau se-viral yang sekarang muncul di Menteng ini. Nah, kenapa yang di Menteng ini bisa heboh banget? Mungkin karena letaknya yang bener-bener di pusat kota, di kawasan yang selama ini cuma ‘terjangkau’ sama kalangan atas, tiba-tiba muncul opsi di bawah Rp 1 miliar. Ini yang bikin orang kaget dan penasaran luar biasa.

Kenapa Bikin Geger Harganya?

Oke, mari kita bahas kenapa harga di bawah Rp 1 miliar untuk rumah flat di Menteng ini bisa bikin ‘geger’. Menteng itu kan udah kayak ikon kawasan elite di Jakarta. Harga tanahnya udah nggak masuk akal buat kebanyakan orang. Rumah tapak di Menteng itu harganya bisa puluhan bahkan ratusan miliar Rupiah. Apartemen mewah di sekitarnya juga harganya bisa belasan atau puluhan miliar Rupiah per unit.

Nah, di tengah kondisi pasar properti di Menteng yang kayak gitu, tiba-tiba ada opsi hunian (meskipun flat dan nggak terlalu luas) dengan harga ‘cuma’ di bawah Rp 1 miliar. Ini kan sebuah anomali yang menarik perhatian. Seolah-olah ada ‘celah’ buat orang-orang yang mungkin selama ini cuma bisa mimpi tinggal di Menteng, sekarang jadi punya harapan. Tentu aja harga segitu pasti untuk unit yang paling kecil atau mungkin di lantai paling atas yang aksesnya paling ‘berat’ (karena tanpa lift). Tapi tetap saja, secara psikologis, angka di bawah Rp 1 miliar di lokasi Menteng itu bikin orang langsung ternganga dan pengen tahu lebih detail.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa developer properti itu makin kreatif dalam mencari cara buat menyediakan hunian di lokasi-lokasi prime yang lahannya makin terbatas dan mahal. Mereka ‘memeras’ lahan semaksimal mungkin dengan membangun ke atas, dan menawarkan unit-unit yang lebih kecil dan fungsional dengan harga yang lebih ‘ramah’ kantong (tentunya dalam konteks lokasi tersebut). Ini bisa jadi solusi buat orang-orang yang prioritaskan lokasi di pusat kota dibanding luas hunian atau fasilitas mewah.

Siapa Target Pasar Rumah Flat Menteng?

Dengan konsep dan harganya yang unik (untuk ukuran Menteng), siapa sih kira-kira target pasar utama dari rumah flat kayak gini?

Pertama, kemungkinan besar adalah anak muda atau profesional muda yang bekerja di area pusat kota Jakarta. Mereka ini biasanya nggak butuh rumah yang terlalu besar, tapi sangat prioritaskan waktu tempuh ke kantor. Tinggal di Menteng jelas memangkas waktu perjalanan banget dibanding harus commuting dari daerah pinggiran Jakarta atau kota-kota satelit. Harga di bawah Rp 1 miliar juga mungkin masih dalam jangkauan mereka, apalagi kalau dibeli bareng pasangan atau dengan skema KPR.

Kedua, bisa juga pasangan muda atau keluarga kecil yang baru memulai. Mereka mungkin belum butuh banyak kamar atau halaman untuk anak-anak bermain. Prioritasnya adalah aksesibilitas ke tempat kerja, sekolah (jika ada anak), atau fasilitas publik lainnya di pusat kota. Tinggal di Menteng memberikan kemudahan akses ke mana-mana.

Ketiga, bisa jadi orang-orang yang ingin melakukan downsizing. Mungkin dulunya tinggal di rumah tapak yang besar tapi sudah tidak butuh ruang seluas itu lagi, atau anak-anaknya sudah mandiri dan keluar rumah. Mereka ingin pindah ke lokasi yang lebih strategis dan praktis, tanpa harus repot merawat rumah tapak yang besar. Konsep strata title juga mengurangi kerepotan perawatan bangunan secara umum.

Keempat, ada juga kemungkinan investor yang melihat potensi sewa. Lokasi di Menteng jelas menarik buat ekspatriat atau profesional yang butuh tinggal di pusat kota dalam jangka waktu tertentu. Meskipun unitnya kecil, lokasinya sangat menjual.

Secara umum, target pasarnya adalah mereka yang punya budget terbatas (dalam konteks Menteng), memprioritaskan lokasi di pusat kota, dan nggak masalah tinggal di hunian vertikal dengan luas yang terbatas dan fasilitas basic. Mereka ini mencari kepraktisan dan efisiensi waktu, terutama dari sisi mobilitas.

Kelebihan Tinggal di Hunian Vertikal Low-Rise

Tinggal di rumah flat kayak gini punya beberapa keuntungan lho, apalagi kalau lokasinya strategis:

  • Lokasi Super Strategis: Ini jelas keuntungan paling utama. Bayangin bisa tinggal di Menteng dengan harga ‘relatif’ terjangkau. Akses ke kantor, tempat hangout, pusat perbelanjaan, sekolah, atau rumah sakit jadi jauh lebih dekat. Hemat waktu dan biaya transportasi banget!
  • Harga Lebih Terjangkau (untuk Lokasi Tersebut): Dibandingkan rumah tapak atau apartemen mewah di area yang sama, rumah flat ini menawarkan titik masuk ke pasar properti di lokasi prime dengan harga yang lebih rendah.
  • Perawatan Relatif Mudah: Karena sistemnya strata title, perawatan bagian luar bangunan dan fasilitas umum biasanya dikelola oleh pengelola gedung atau perhimpunan penghuni. Kamu nggak perlu repot ngurus atap bocor atau ngecat tembok luar sendiri.
  • Keamanan: Umumnya hunian vertikal punya sistem keamanan yang lebih baik dibanding rumah tapak biasa, misalnya dengan adanya petugas keamanan 24 jam atau akses pintu yang pakai kartu.
  • Potensi Komunitas: Tinggal berdekatan dengan unit lain bisa menciptakan potensi interaksi dan komunitas antarpenghuni, meskipun ini sangat tergantung sama karakter penghuninya sendiri.
  • Efisiensi Ruang: Meskipun luasnya terbatas, desain unit di rumah flat biasanya fokus pada efisiensi penggunaan ruang, memaksimalkan setiap sudut agar tetap fungsional.

Keuntungan-keuntungan ini yang bikin konsep rumah flat, terutama di lokasi prime, jadi menarik buat segmen pasar tertentu. Mereka rela mengorbankan luas atau halaman demi mendapatkan kemudahan akses dan efisiensi hidup di perkotaan yang padat.

Apa Saja Kekurangannya?

Di balik kelebihannya, tentu saja ada beberapa kekurangan atau tantangan kalau tinggal di rumah flat seperti ini:

  • Luas Terbatas: Ini adalah konsekuensi utama. Unit rumah flat biasanya nggak seluas rumah tapak biasa. Buat kamu yang terbiasa punya banyak ruang atau butuh area penyimpanan ekstra, ini bisa jadi masalah. Kamu harus pinter-pinter menata interior biar tetap nyaman.
  • Tidak Ada Halaman Pribadi: Buat kamu yang suka berkebun, punya hewan peliharaan yang butuh area lari-lari, atau sekadar pengen punya ruang terbuka pribadi, rumah flat jelas bukan pilihan yang tepat. Semua area terbuka biasanya bersifat umum atau hanya ada balkon kecil (jika ada).
  • Tidak Ada Lift (untuk 4 Lantai): Meskipun disebut keuntungan karena nggak butuh lift (dan mungkin bikin biaya perawatan lebih rendah), ini juga bisa jadi tantangan. Kalau unitmu ada di lantai 3 atau 4, kamu harus siap naik turun tangga setiap hari. Ini bisa jadi masalah buat orang tua, ibu hamil, atau saat membawa barang belanjaan berat.
  • Potensi Kebisingan: Tinggal berdekatan dengan unit lain, berbagi dinding dan lantai/langit-langit, berpotensi menimbulkan masalah kebisingan dari tetangga. Kualitas insulasi suara sangat penting di hunian vertikal.
  • Fasilitas Minim: Seperti yang disebutkan, rumah flat low-rise biasanya nggak punya fasilitas selengkap apartemen mewah. Mungkin cuma ada area parkir, keamanan, dan area komunal minimal. Kalau butuh kolam renang atau gym, kamu harus mencarinya di luar kompleks.
  • Aturan Tinggal: Karena ini hunian vertikal dengan strata title, akan ada aturan-aturan yang harus diikuti, misalnya soal renovasi, memelihara hewan, parkir, dll. Kamu nggak bisa seenaknya sendiri seperti di rumah tapak.
  • Parkir: Area parkir biasanya terbatas dan mungkin kamu nggak dapat jatah parkir pribadi yang luas seperti di rumah tapak.

Jadi, sebelum memutuskan, penting banget buat mempertimbangkan kekurangan-kekurangan ini dan menimbang mana yang paling penting buat kebutuhan dan gaya hidupmu.

Ini Beda Sama Apartemen Biasa Ya?

Secara konsep dasar, rumah flat low-rise ini memang mirip apartemen atau rumah susun karena sama-sama hunian vertikal dengan kepemilikan strata title. Tapi ada beberapa perbedaan mendasar yang bikin mereka nggak sama persis:

  • Ketinggian: Apartemen atau rusun biasanya punya banyak lantai, bahkan puluhan. Rumah flat ini terbatas, cuma sampai empat lantai. Ini perbedaan paling mencolok.
  • Fasilitas: Apartemen, terutama yang kelas menengah ke atas, sering kali punya fasilitas yang lengkap banget kayak kolam renang, pusat kebugaran, taman bermain anak, area komersial, dll. Rumah flat low-rise cenderung punya fasilitas yang sangat minim, fokus ke fungsi hunian aja.
  • Ada/Tidak Ada Lift: Ini konsekuensi dari ketinggian. Apartemen tinggi wajib punya lift, sementara rumah flat empat lantai biasanya tidak.
  • Jumlah Unit per Lantai: Terkadang, desain rumah flat ini lebih mirip rumah deret yang disusun ke atas. Mungkin jumlah unit per lantai tidak sebanyak di koridor apartemen yang panjang.
  • Target Pasar: Meskipun ada irisan, target pasar apartemen mewah, apartemen menengah, rusun sederhana, dan rumah flat low-rise ini bisa sedikit berbeda, tergantung harga dan lokasinya.

Intinya, rumah flat di Menteng ini adalah salah satu bentuk adaptasi hunian vertikal yang disesuaikan dengan kondisi lahan dan pasar di lokasi yang sangat mahal. Dia mengisi ceruk pasar antara rumah tapak yang super mahal dan apartemen mewah/menengah yang mungkin masih di atas budget tapi butuh lokasi pusat kota.

Potensi Jadi Tren di Kota Lain?

Fenomena rumah flat di Menteng ini membuka mata banyak orang tentang potensi konsep hunian vertikal low-rise. Pertanyaannya, apakah konsep ini bisa jadi tren dan diterapkan di kota-kota besar lainnya di Indonesia?

Menurut Pak Bambang Ekajaya, sangat mungkin! Mengingat status kepemilikannya yang strata title (sama seperti rumah susun), penerapan konsep ini di kota lain tidak terhalang masalah legalitas kepemilikan. Syarat utamanya adalah kebutuhan akan hunian yang lebih efisien di lokasi-lokasi yang harga tanahnya sudah mulai meroket.

Kota-kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Yogyakarta, atau Makassar juga menghadapi tantangan yang sama dengan Jakarta, yaitu keterbatasan lahan di pusat kota dan harga tanah yang terus naik. Banyak profesional muda, mahasiswa, atau keluarga kecil di kota-kota ini yang butuh hunian di lokasi strategis agar dekat dengan aktivitas mereka, tapi terkendala budget untuk membeli rumah tapak.

Konsep rumah flat ini bisa jadi solusi menarik. Developer bisa membangun hunian yang lebih banyak unit di lahan terbatas, sehingga harga per unitnya bisa lebih terjangkau dibanding membangun rumah tapak. Bagi konsumen, mereka bisa punya ‘rumah’ di lokasi yang selama ini cuma bisa diimpikan, meskipun dalam bentuk vertikal dan luasnya terbatas.

Tentu saja, pengembangan konsep ini di kota lain perlu disesuaikan dengan karakteristik pasar dan regulasi tata ruang masing-masing daerah. Tapi secara potensi, model hunian vertikal low-rise yang efisien dan relatif terjangkau di lokasi strategis ini punya prospek yang bagus untuk jadi salah satu alternatif hunian di masa depan, terutama di kota-kota besar Indonesia yang makin padat.

Jadi, jangan kaget ya kalau nanti makin banyak muncul proyek rumah flat serupa di kota-kota lain selain Jakarta. Ini bisa jadi salah satu jawaban atas tantangan harga properti yang tinggi di lokasi urban.

Gimana menurut kalian tentang konsep rumah flat ini? Tertarik nggak buat tinggal di hunian vertikal low-rise demi bisa punya ‘rumah’ di lokasi idaman? Yuk, bagi pendapat kalian di kolom komentar!

Posting Komentar