Abolisi & Amnesti: Jurus Pamungkas Presiden untuk Tom Lembong dan Hasto?

Table of Contents

Abolisi Amnesti Presiden Tom Lembong Hasto

Kabar mengejutkan datang dari Komplek Gedung Parlemen. Presiden Prabowo Subianto dikabarkan secara resmi telah memberikan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto. Pengumuman penting ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, setelah menggelar rapat persetujuan yang diajukan oleh presiden. Tentunya, keputusan ini langsung jadi buah bibir di kalangan masyarakat dan pengamat hukum.

Dasco menjelaskan bahwa DPR telah memberikan pertimbangan serta persetujuan penuh terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres072025 yang bertanggal 30 Juli 2025. Surat ini berisi permintaan pertimbangan terkait pemberian abolisi kepada Saudara Tom Lembong. Di sisi lain, persetujuan DPR juga mencakup pemberian amnesti untuk 1.116 orang terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto, yang tertuang dalam Surat Presiden Nomor 42 Pres 072725 per 30 Juli 2025. Langkah ini menunjukkan bagaimana kekuasaan eksekutif dan legislatif saling berinteraksi dalam penggunaan hak prerogatif presiden.

Apa Sih Bedanya Abolisi dan Amnesti?

Meskipun sama-sama merupakan hak prerogatif Presiden yang berkaitan dengan penghapusan akibat hukum pidana, abolisi dan amnesti punya perbedaan mendasar, lho. Keduanya adalah “jurus pamungkas” Presiden yang bisa menghapus catatan kelam seseorang di mata hukum, namun cakupan dan akibat hukumnya tidaklah sama persis. Memahami perbedaan keduanya penting agar kita tidak salah kaprah.

Abolisi adalah hak istimewa dan kewenangan konstitusional Presiden untuk menghapuskan seluruh akibat hukum dari putusan pengadilan atau bahkan menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terdakwa atau terpidana. Lebih dari itu, abolisi juga bisa menghentikan proses hukum apabila putusan tersebut telah dijalankan. Jadi, intinya abolisi ini seakan menghapus keberadaan kasusnya sama sekali, seolah-olah tidak pernah ada. Ini biasanya diberikan sebelum atau selama proses peradilan, bukan setelah vonis inkrah.

Beda halnya dengan amnesti. Amnesti itu juga menghapus akibat hukum pidana, tapi biasanya diberikan kepada sekelompok orang atau kasus yang lebih umum. Amnesti ini menghapus hukuman yang sudah dijatuhkan dan bahkan menghapus tuntutan pidana, namun tindakan pidananya sendiri tetap tercatat. Artinya, kejahatan itu diakui pernah terjadi, tapi hukumannya ditiadakan. Amnesti seringkali diberikan untuk tujuan politik atau kemanusiaan, misalnya untuk narapidana politik atau mereka yang terlibat dalam gejolak sosial tertentu.

Dasar hukum untuk kedua hak ini juga tertulis jelas dalam perundang-undangan kita. Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Abolisi dan Amnesti menyebutkan, “Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang termaksud dalam pasal 1 dan 2 dihapuskan.” Sementara itu, tentang abolisi, disebutkan, “Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang termaksud dalam pasal 1 dan 2 ditiadakan.” Jelas sekali kan perbedaan fokusnya? Satu menghapus akibat hukum setelah terjadi, satu lagi meniadakan penuntutan.

Hak Prerogatif Presiden Lainnya: Grasi dan Rehabilitasi

Selain abolisi dan amnesti, Presiden Republik Indonesia sebenarnya punya dua hak prerogatif lain yang juga berkaitan dengan hukum, yaitu grasi dan rehabilitasi. Keempat hak ini sering disebut “hak sakti” Presiden karena punya kekuatan besar dalam mengubah nasib seseorang yang berhadapan dengan hukum. Mari kita bedah sedikit perbedaannya agar lebih paham.

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau bahkan penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana oleh Presiden. Pidana yang dimaksud adalah pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Nah, yang penting diingat, grasi ini diberikan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah). Artinya, kesalahan terpidana itu sudah diakui dan sudah divonis, hanya saja hukumannya diringankan atau diampuni oleh Presiden. Ini seringkali didasari pertimbangan kemanusiaan atau keadilan.

Rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang yang telah divonis bersalah, tapi kemudian terbukti tidak bersalah. Tujuan rehabilitasi adalah mengembalikan nama baik seseorang yang sebelumnya tercemar akibat putusan pengadilan. Misalnya, seseorang dipenjara dan divonis bersalah, namun setelah itu ditemukan bukti baru yang membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia berhak mendapatkan rehabilitasi untuk memulihkan kehormatan dan martabatnya. Hak ini diberikan setelah putusan pengadilan menyatakan bahwa terpidana tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.


Hak Prerogatif Presiden Fokus Kapan Diberikan? Akibat Hukum Contoh Kasus (umum)
Abolisi Menghapus penuntutan pidana Sebelum atau selama proses peradilan (belum ada vonis inkrah) Kasus dianggap tidak pernah ada, seolah tanpa cela Gerakan politik tertentu yang dianggap mengancam negara di masa lalu
Amnesti Menghapus atau meringankan hukuman Setelah vonis, atau untuk sekelompok orang Tindakan pidana tetap ada, tapi hukuman ditiadakan Narapidana politik atau kasus massal yang melibatkan banyak orang
Grasi Meringankan hukuman Setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah) Hukuman diringankan/dihapus, kesalahan tetap tercatat Pertimbangan kemanusiaan, kesehatan, atau umur terpidana
Rehabilitasi Memulihkan nama baik Setelah putusan dinyatakan tidak bersalah Nama baik dan hak dipulihkan sepenuhnya Seseorang yang divonis, lalu kemudian dibebaskan karena bukti baru yang membebaskan


Mekanisme Check and Balance dengan DPR

Penggunaan hak prerogatif Presiden, terutama abolisi dan amnesti, tidak bisa dilakukan semena-mena, lho. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Presiden memberi abolisi dan amnesti dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ini menunjukkan adanya mekanisme check and balance antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Artinya, keputusan ini tidak bisa diambil secara sepihak tanpa adanya masukan dan persetujuan dari lembaga legislatif.

Peran DPR dalam proses ini sangat krusial. DPR berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan Presiden, memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak melanggar keadilan atau kepentingan publik. Pertimbangan DPR bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah proses serius yang melibatkan kajian mendalam dari komisi terkait, khususnya Komisi III yang membidangi hukum dan HAM. Mereka akan menganalisis latar belakang kasus, dampak sosial, dan aspek hukum dari permohonan abolisi atau amnesti tersebut sebelum memberikan lampu hijau.

Sufmi Dasco Ahmad, dalam pernyataannya, menegaskan pentingnya peran DPR dalam proses ini. Rapat persetujuan yang digelar adalah bukti nyata dari mekanisme demokrasi yang berjalan. Ini juga menunjukkan bahwa untuk kasus sebesar Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, segala keputusan harus melalui koridor hukum dan mendapat legitimasi dari wakil rakyat. Dengan demikian, keputusan abolisi dan amnesti ini diharapkan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan baik.

Mengapa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto?

Keputusan pemberian abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto tentu memancing pertanyaan besar di benak publik. Mengingat Tom Lembong dikenal sebagai sosok yang pernah dekat dengan lingkaran kekuasaan namun belakangan kerap melontarkan kritik pedas, sementara Hasto Kristiyanto adalah Sekjen partai penguasa, PDIP, yang seringkali menjadi sorotan dalam berbagai isu politik. Keduanya memiliki posisi yang cukup sentral dalam kancah politik nasional.

Meski artikel tidak merinci secara spesifik kasus hukum apa yang melatarbelakangi pemberian hak istimewa ini, kita bisa berasumsi bahwa ada pertimbangan strategis di baliknya. Pemberian abolisi kepada Tom Lembong, misalnya, bisa jadi merupakan langkah untuk menormalkan kembali hubungan atau mengakhiri potensi konflik hukum yang mungkin timbul di masa depan. Abolisi ini bisa berarti menghapus seluruh catatan atau potensi tuntutan yang mungkin menjeratnya, memberikan “pembersihan” total dari segala isu hukum yang mungkin ada.

Sementara itu, amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan 1.116 terpidana lainnya mungkin bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik atau meredakan tensi di tengah dinamika pasca-pemilu. Amnesti massal seperti ini seringkali digunakan sebagai instrumen rekonsiliasi atau sebagai upaya untuk membebaskan mereka yang dianggap sebagai korban kekerasan politik di masa lalu, atau mungkin juga mereka yang terkait dengan isu-isu yang sensitif secara politik. Ini adalah langkah Presiden untuk menunjukkan kekuasaan pengampunan negara.

Bagi Presiden Prabowo Subianto, langkah ini bisa jadi merupakan manifestasi dari komitmennya untuk membangun stabilitas dan merangkul semua pihak. Dalam konteks politik yang dinamis, keputusan ini bisa diartikan sebagai upaya untuk meminimalisir potensi polarisasi dan konflik hukum yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan. Tentu saja, keputusan ini akan diamati dengan seksama oleh para pengamat hukum dan politik, bagaimana dampaknya terhadap lanskap hukum dan politik Indonesia ke depan.

Implikasi dan Prospek ke Depan

Keputusan Presiden Prabowo untuk menggunakan hak prerogatifnya ini tentu punya implikasi yang luas. Dari sisi hukum, ini menegaskan kembali bahwa hak prerogatif Presiden adalah instrumen sah yang bisa digunakan dalam sistem hukum Indonesia, asalkan sesuai dengan prosedur dan mendapat persetujuan DPR. Ini juga menjadi preseden baru bagi era pemerintahan Prabowo, menunjukkan bagaimana ia akan memanfaatkan kekuasaan konstitusionalnya.

Dari sisi politik, langkah ini bisa jadi upaya untuk “membersihkan meja” dari isu-isu lama dan membuka lembaran baru. Dengan memberikan abolisi dan amnesti, pemerintah bisa berharap untuk mengurangi ketegangan dan fokus pada agenda pembangunan. Tentu saja, ada juga potensi perdebatan di masyarakat, apakah keputusan ini sudah tepat dan adil. Namun, dalam negara hukum, selama prosedurnya sesuai, keputusan ini memiliki kekuatan hukum yang sah.

Publik akan menanti bagaimana kelanjutan kisah Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto setelah mendapatkan “tiket bebas” ini. Apakah mereka akan kembali aktif di kancah politik? Atau akan memilih jalur lain? Yang jelas, keputusan ini telah menandai sebuah babak baru dalam dinamika hukum dan politik di Indonesia. Kita juga bisa belajar lebih banyak tentang betapa kompleksnya sistem hukum kita dan bagaimana peran Presiden bisa begitu vital.


VIDEO TERKAIT (Contoh Penjelasan Hak Prerogatif Presiden dari Perspektif Hukum):

Meskipun bukan video spesifik tentang kasus Tom Lembong atau Hasto (karena kasus ini bersifat futuristic dalam prompt), Anda bisa mencari video penjelasan umum tentang hak prerogatif presiden dari para ahli hukum atau berita terkemuka untuk pemahaman lebih lanjut. Misalnya, video dari kanal berita yang membahas “Apa itu Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi?”


Bagaimana menurut Anda? Apakah keputusan ini adalah langkah yang tepat untuk stabilitas politik ke depan? Mari berikan pendapat Anda di kolom komentar!

Posting Komentar