Anarki, Anarkis, Anarkisme: Apa Bedanya, Sih? Yuk, Kupas Tuntas!
Belakangan ini, kata “anarki,” “anarkis,” dan “anarkisme” sering banget kita dengar, terutama di tengah maraknya berbagai aksi demo di Tanah Air. Para pejabat atau pemberitaan media tak jarang menggunakan istilah-istilah ini untuk melabeli kelompok massa tertentu. Sayangnya, sering kali penggunaan kata-kata ini bikin bingung dan bahkan kerap tertukar satu sama lain. Lebih parahnya, stigma negatif yang melekat bikin makna aslinya jadi bias.
Padahal, penting banget lho buat kita memahami perbedaan ketiganya. Mengapa? Karena pemahaman yang keliru bisa memicu kesalahpahaman yang lebih besar, bahkan berpotensi menggerus hak masyarakat untuk berpendapat dan mengkritik. Yuk, kita bedah satu per satu agar lebih jelas dan tidak salah kaprah lagi!
Memahami Arti ‘Anarki,’ ‘Anarkis,’ dan ‘Anarkisme’¶
Kata-kata ini memang punya kemiripan, tapi makna dan fungsinya dalam tata bahasa itu berbeda jauh. Kita akan pakai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai pegangan utama, lalu kita perdalam lagi konteksnya agar lebih mudah dicerna. Siap?
1. Arti Kata ‘Anarki’ (Kata Benda)¶
Menurut KBBI, kata ‘anarki’ punya dua definisi utama:
* n hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban.
* n kekacauan (dalam suatu negara).
Nah, sering kan kita dengar “negara dalam kondisi anarki” atau “situasi anarki”? Ini merujuk pada keadaan tanpa kontrol atau kekacauan yang terjadi. Namun, penting untuk digarisbawahi, secara bahasa, ‘anarki’ juga bisa menjadi awalan yang berkaitan dengan sebuah ideologi.
Contohnya adalah istilah “anarki sindikalisme,” yang merupakan salah satu cabang dari gerakan anarkis yang fokus pada perjuangan buruh melalui serikat kerja. Jadi, ‘anarki’ itu bisa berarti kekacauan itu sendiri, atau juga menjadi bagian dari istilah yang lebih kompleks untuk menjelaskan sebuah gagasan atau aliran pemikiran. Tidak melulu identik dengan kerusuhan, tapi lebih pada kondisi tanpa otoritas.
2. Arti Kata ‘Anarkis’ (Kata Benda/Sifat)¶
Kalau ‘anarkis’ ini lebih merujuk pada pelaku atau penganut. Dalam KBBI, penjelasannya adalah:
* n penganjur (penganut) paham anarkisme.
* n orang yang melakukan tindakan anarki.
Jadi, kalau ada seseorang yang menganut pemikiran anarkisme, dia bisa disebut seorang anarkis. Tapi, orang yang melakukan tindakan rusuh atau kekacauan tanpa aturan yang jelas, meskipun tidak punya ideologi anarkisme sekalipun, juga bisa dilabeli anarkis. Inilah yang seringkali membuat bingung!
Di media massa, kata ‘anarkis’ sering banget dipakai sebagai kata sifat untuk menggambarkan sebuah aksi. Contohnya, “aksi anarkis” untuk merujuk pada demonstrasi yang berakhir ricuh. Padahal, ada istilah yang lebih tepat, yaitu “anarkistis,” yang berarti bersifat anarki. Tapi ini nanti kita bahas lebih lanjut ya! Intinya, ‘anarkis’ itu orangnya, bukan tindakannya.
3. Arti Kata ‘Anarkisme’ (Kata Benda/Paham)¶
Nah, ini dia yang paling penting untuk dipahami secara mendalam. ‘Anarkisme’ adalah inti dari semuanya, yaitu sebuah paham atau ideologi. KBBI menjelaskan:
* n ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang.
Lebih dari sekadar menentang, anarkisme sebenarnya adalah pandangan politik yang bercita-cita untuk menciptakan masyarakat yang di dalamnya setiap individu bebas berkumpul bersama secara setara (egaliter), tanpa hierarki yang menempatkan satu pihak lebih tinggi dari yang lain. Paham ini melawan segala bentuk kontrol hierarkis, baik oleh negara, kapitalis, maupun institusi keagamaan, karena dianggap merugikan dan menghambat individualitas seseorang.
Secara historis, anarkisme muncul pada abad ke-19 di Eropa. Tokoh-tokoh pemikir besar seperti Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, dan Emma Goldman adalah beberapa figur penting yang mengusung gagasan masyarakat tanpa otoritas negara dan hierarki. Bagi mereka, anarkisme sama sekali bukan kekacauan, melainkan upaya keras untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih adil, yang didasarkan pada solidaritas, kesetaraan, dan kebebasan individu sepenuhnya.
Sayangnya, pemahaman anarkisme sering kali salah kaprah dan langsung diasosiasikan dengan kekerasan. Padahal, dalam literatur politik, anarkisme adalah filsafat sosial yang menolak segala bentuk penindasan, apa pun bentuknya, baik oleh negara, modal, maupun institusi yang berkuasa. Ada berbagai varian anarkisme, seperti anarko-sindikalisme, anarko-komunisme, anarko-pasifisme, yang semuanya memiliki pendekatan berbeda dalam mencapai tujuan masyarakat tanpa dominasi. Ini menunjukkan bahwa anarkisme jauh lebih kompleks dari sekadar “kerusuhan.”
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat tabel perbandingan berikut:
Istilah | Jenis Kata | Definisi Singkat | Contoh Konteks Penggunaan |
---|---|---|---|
Anarki | Kata Benda | Keadaan tanpa pemerintahan/aturan; Kekacauan | “Negara itu jatuh ke dalam kondisi anarki setelah kudeta.” |
Anarkis | Kata Benda | Penganut paham anarkisme; Orang yang bertindak anarki | “Para anarkis berkumpul untuk diskusi ideologi.” / “Polisi menahan pelaku anarkis.” |
Anarkisme | Kata Benda | Paham/ideologi yang menentang negara dan hierarki | “Anarkisme sebagai filsafat politik memiliki sejarah panjang.” |
Agar lebih jelas lagi mengenai Anarkisme, yuk tonton video singkat ini:
Kenapa Penggunaannya Sering Tertukar, Sih?¶
Meskipun sudah jelas perbedaannya, mengapa ya kata “anarki,” “anarkis,” dan “anarkisme” ini sering tertukar dalam percakapan sehari-hari maupun pemberitaan? Ada beberapa faktor utama yang jadi penyebabnya.
1. Memiliki Akar Kata yang Sama¶
Faktor pertama adalah karena ketiganya berasal dari akar kata yang sama, yaitu dari bahasa Yunani kuno. Kata ‘an-’ berarti ‘tanpa’ atau ‘tidak ada,’ sementara ‘archos’ berarti ‘penguasa’ atau ‘pemimpin.’ Jadi, secara etimologis, semua kata ini memiliki makna dasar ‘tanpa penguasa.’
Kesamaan akar kata ini sering membuat masyarakat awam kesulitan membedakan fungsi dan konteks penggunaan masing-masing. Mereka cenderung melihatnya sebagai satu kesatuan makna yang sama, padahal tata bahasa dan konteksnya berbeda. Padahal, ‘tanpa penguasa’ dalam konteks ideologi bisa sangat berbeda dengan ‘kekacauan’ yang terjadi di lapangan.
2. Kebingungan Tata Bahasa¶
Bahasa Indonesia sebenarnya cukup kaya dengan berbagai bentuk kata. Kita punya ‘anarkis’ yang berarti orang atau penganut, dan kita juga punya ‘anarkistis’ yang merupakan kata sifat yang berarti ‘bersifat anarki.’ Namun, perbedaan ini sering diabaikan, terutama dalam percakapan sehari-hari dan di media.
Contoh paling sering adalah penggunaan frasa “aksi anarkis.” Secara tata bahasa, ini kurang tepat. Seharusnya, jika kita ingin menggambarkan sebuah aksi yang bersifat kacau atau tanpa aturan, kita bisa menggunakan “aksi anarkistis” atau “aksi yang anarki.” Penggunaan yang tidak tepat ini kemudian menjadi kebiasaan dan semakin mengaburkan batas antara ketiga istilah tersebut.
3. Stigma dan Citra Negatif yang Melekat¶
Ini mungkin faktor paling dominan yang menyebabkan kebingungan. Istilah ‘anarkis’ dalam pemberitaan media sering kali dikaitkan langsung dengan kekerasan, perusakan, atau demonstrasi yang berujung ricuh. Pemerintah pun sering menggunakan label ini untuk memberikan citra negatif pada kelompok massa tertentu yang dianggap mengganggu ketertiban.
Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam tradisi pemikiran politik, anarkisme tidaklah sama dengan kerusuhan atau kekerasan secara inheren. Namun, framing media dan retorika politik telah berhasil menciptakan identifikasi yang kuat antara “anarkis” dengan “pelaku kekacauan.” Stigma negatif ini membuat pemahaman yang lebih dalam tentang anarkisme sebagai filsafat politik menjadi sangat sulit diterima oleh masyarakat luas. Akibatnya, setiap ada tindakan perusakan, langsung saja dilabeli “anarkis” tanpa melihat ideologi atau motivasinya.
Anarki dalam Konteks Indonesia¶
Di Indonesia, penggunaan istilah ‘anarki’ dan ‘anarkis’ seringkali mencuat ke permukaan saat ada pergerakan masyarakat, terutama demonstrasi. Aparat kepolisian dan pemerintah beberapa kali menyebut adanya “kelompok anarki” yang dituding sebagai provokator atau perusak fasilitas umum. Secara visual, kelompok ini sering digambarkan sebagai anak muda dengan pakaian serba hitam, memakai masker, dan menyebarkan propaganda melalui grafiti atau simbol-simbol tertentu yang kerap dikaitkan dengan budaya punk.
Namun, banyak pengamat yang berpandangan bahwa pelabelan ‘anarki’ semacam ini terlalu menyederhanakan masalah. Tidak semua anak muda dengan tampilan visual seperti itu otomatis adalah penganut ideologi anarkisme atau bagian dari “kelompok anarki” yang terorganisir. Bisa jadi mereka hanya mengekspresikan kekecewaan atau kemarahan tanpa pemahaman ideologi yang mendalam. Pelabelan yang gegabah ini bisa berbahaya karena dapat menggeneralisir dan menstigma kelompok tertentu, menghambat dialog, dan bahkan memicu eskalasi konflik.
Penting untuk membedakan antara aksi protes dan aksi anarki yang destruktif. Aksi protes adalah bagian dari demokrasi dan hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Sementara aksi anarki yang berujung perusakan adalah tindakan pidana. Namun, seringkali, kedua hal ini sengaja dikaburkan atau disamakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan suatu gerakan.
Kesimpulan: Pentingnya Berpikir Kritis¶
Secara singkat, dapat kita simpulkan bahwa:
* Anarki adalah kondisi tanpa pemerintahan atau kekacauan, bisa juga sebagai awalan yang menyebut cabang gerakan.
* Anarkis adalah orang atau pelaku yang menganut paham anarkisme atau yang melakukan tindakan anarki.
* Anarkisme adalah paham atau ideologi politik yang menolak otoritas negara dan hierarki sosial demi masyarakat yang egaliter dan bebas.
Penggunaan ketiga kata ini rawan tertukar karena beberapa faktor yang telah kita bahas: kesamaan akar kata, kebingungan tata bahasa, dan stigma negatif yang terlanjur melekat di masyarakat dan media.
Memahami pengertian tiga kata di atas secara lebih jeli akan membantu kita dalam mencerna wacana politik dan pemberitaan media dengan lebih kritis. Jangan mudah terprovokasi atau ikut-ikutan menyematkan label tanpa memahami konteks aslinya. Ingat, bahasa bukan hanya soal arti, tetapi juga soal kuasa dan bagaimana ia membentuk persepsi kita terhadap realitas.
Bagaimana pendapat kalian setelah membaca penjelasan ini? Apakah kalian pernah salah memahami ketiga istilah ini sebelumnya? Yuk, bagikan pandangan kalian di kolom komentar!
Posting Komentar